Ditambah lagi, mulai muncul prediksi rasa ekspektasi, yang cenderung meremehkan Denmark, tim yang tampil impresif di fase gugur, meski kehilangan Christian Eriksen. Apa boleh buat, sebentuk dukungan ini bisa berbalik menjadi racun yang melenakan.
Kebetulan, ini sempat terjadi di Piala Dunia 2018, saat tim mampu melangkah ke semifinal. Ada banyak keyakinan dalam jargon "Football's Coming Home" yang bergaung, karena tim yang dilawan juga merupakan tim kejutan turnamen.
Tapi, alih-alih memotivasi, jargon ini justru membebani. Mereka kesulitan fokus, dan akhirnya tumbang. Jika situasi saat ini dibiarkan saja, Tim Dinamit akan membuat Inggris kerepotan, dan bisa saja lolos ke final, persis seperti Kroasia dulu.
Memang, toksisitas semacam ini sudah jadi "penyakit lama" di media Inggris, yang celakanya menular ke sebagian suporter. Ada sorotan tiada henti, pujian berlebihan, dan hal-hal toksik lainnya, yang selalu ada tiap kali Timnas Inggris tampil di turnamen mayor.
Semua itu benar-benar membebani tim, dan menjadikan mereka sasaran empuk, tiap kali gagal berprestasi bagus di turnamen mayor. Sebuah kerinduan akan prestasi, yang justru kerap merugikan.
Dengan demikian, Timnas Inggris akan menghadapi tantangan dua lawan sekaligus di semifinal, yakni Denmark dan publik sendiri, seperti biasanya.
Tentunya, ini akan jadi satu tantangan kompleks, karena mereka juga datang sebagai salah satu tim unggulan. Jika mampu mengatasinya dan tetap fokus, Stadion Wembley yang akan jadi panggung semifinal (dan final, jika lolos) akan kembali jadi saksi sejarah kehebatan mereka, sejak berjaya di Piala Dunia 1966.
Tapi, jika jargon "Football is Coming Home" berikut segala printilannya malah membuat gagal fokus, rasanya Inggris harus bersiap patah hati, karena kembali gagal menuju partai puncak. Penyebabnya, mereka sudah kalah, bahkan sejak sebelum bertanding, karena terlena dengan kegaduhan di luar lapangan.
Jadi, pilih yang mana, Timnas Inggris?