Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Upah Per Jam, Sebuah Pengalaman

12 Oktober 2020   23:41 Diperbarui: 13 Oktober 2020   18:32 2333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gaji atau upah per jam (zest_marina via kompas.com)

Di antara sekian banyak poin yang menjadi polemik UU Cipta Kerja, pembahasan soal skema upah kerja per jam menjadi salah satu topik panas, yang ibarat dua sisi mata uang. Mengapa?

Karena, selain berpotensi menguntungkan pihak pemberi kerja, sistem ini bisa membuat seorang pekerja bekerja sangat keras, dalam artian terforsir secara fisik maupun mental. Ini berlaku bukan hanya bagi pekerja yang normal secara fisik, tapi juga pekerja berkebutuhan khusus.

Kebetulan, saya pernah mengalaminya di bulan April 2016 silam, saat bekerja di sebuah hotel kecil di sudut kota Yogyakarta.

Kala itu, saya mendapat kesempatan bekerja sebagai resepsionis. Momen ini datang, beberapa bulan setelah saya wisuda sarjana di penghujung tahun 2015.

Saya memutuskan menerimanya, setelah sempat mendapat penolakan di beberapa kesempatan, salah satunya karena faktor kelainan syaraf motorik bawaan yang saya punya.

Saya melihat ini sebagai satu batu loncatan, sekaligus pengalaman menarik. Maklum, pertambahan jumlah hotel dan homestay di Kota Gudeg saat itu sedang tumbuh cukup pesat.

Dengan posisinya sebagai Kota Pelajar dan destinasi wisata, Yogyakarta memang tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan, keluarga pelajar, dan keluarga mahasiswa perantauan.

Situasi inilah yang membuat hotel punya peranan penting. Meski besaran UMR nya termasuk rendah di tingkat nasional, situasi ini bisa membaik jika pariwisata terus berkembang pesat.

Awalnya, pengalaman ini memang menarik. Sistem upahnya dibayar per jam, dengan tambahan upah 50% di jam lembur, dan ada pengalaman menarik, karena bertemu berbagai macam orang.

Fasilitas lainnya, saya diberi satu kamar tinggal dan satu hari cuti tiap bulan. Kamar ini biasa digunakan, jika saya kebetulan sedang mendapat jadwal shift kerja yang waktunya akan terlalu mepet jika saya harus pulang ke rumah.

Ini dapat menghemat waktu dan biaya, karena saat itu jarak antara rumah dan tempat kerja lumayan jauh. Dengan kondisi fisik saya, akan sangat riskan jika saya harus menanggung beban fisik terlalu berat.

Jadi, saya tetap harus menyiasatinya dengan cermat. Awalnya, ini memang bisa disiasati, karena ada 8 jam kerja dalam sehari.

Meski hari kerjanya 7 hari dalam seminggu, kerjasama yang baik di antara rekan kerja membuat saya tetap bisa ke gereja tiap hari Minggu. Berkat itu juga, saya bisa pulang ke rumah 2-3 kali tiap pekan.

Tapi, situasi menjadi kurang baik, saat seorang kolega mengundurkan diri, dan penggantinya tak segera datang. Ini membuat jam kerja saya naik menjadi 12 jam dalam sehari, dengan 4 jam diantaranya mendapat upah lembur.

Memang, lewat sedikit negosiasi dengan atasan, saya masih bisa ke gereja tiap hari Minggu, dan pulang ke rumah tiap akhir pekan. Selain untuk beribadah, kesempatan ini biasa saya gunakan untuk mengambil pakaian ganti.

Ternyata, ini menjadi beban teramat berat buat fisik saya. Apalagi, setahun sebelumnya, saat sedang mulai membuat skripsi, saya sempat diopname beberapa hari di rumah sakit, karena terkena demam berdarah.

Akibat penyakit ini, saya diwanti-wanti dokter untuk selalu menjaga kondisi. Jangan sampai terlalu lelah. Tapi, karena kewajiban kerja tak bisa ditinggalkan, saya terpaksa ambil risiko.

Pada akhirnya, saya memutuskan resign, karena kondisi tubuh mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan. Saya memutuskan berhenti lebih dulu, sebelum tubuh ini memberhentikan saya bekerja.

Benar saja, sehari setelah hari kerja terakhir saya di sana, saya tumbang akibat demam cukup parah selama tiga hari.

Pengalaman ini jelas kurang mengenakkan bagi saya, tapi tetap jadi pelajaran berharga. Upah lembur memang bisa membantu menambah pemasukan, tapi, upah itu tak ada artinya, jika tubuh harus tumbang karenanya.

Jika sistem upah kerja per jam benar-benar diterapkan, kebijakan yang ada seharusnya lebih proporsional. Salah satunya, perlakuan sesuai, antara mereka yang normal secara fisik, dan berkebutuhan khusus.

Business is business, tapi jangan sampai, para pemberi kerja memanen untung di saat pekerja kelak justru memanen penyakit akibat beban kerja kelewat berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun