Mohon tunggu...
Yosep Dian Sulistyo
Yosep Dian Sulistyo Mohon Tunggu... -

Mau berusaha pasti bisa.. maka selalu berfikirlah I can do this!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan yang Merdeka

28 Desember 2016   11:44 Diperbarui: 28 Desember 2016   12:09 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan harus dirasakan oleh setiap pribadi secara merdeka. Hal tersebut mengandung unsur bahwa berbicara pendidikan bukan hanya berbicara transfer of knowledge. Paradigma mendidik penting dimaknai untuk menjadikan manusia layaknya manusia yang utuh yakni berbudaya dan berbudi pekerti baik. Dengan begitu, penting untuk mengubah mindset kita terhadap pendidikan masa kini dimana orangtua lebih mengagungkan sisi kognitif dan ‘mengabaikan aspek yang lain’.

Perlu sebuah paradigma yang selaras bahwa mendidik mampu menuntun anak secara mendalam untuk mengenali potensi diri dan membangun kreativitas mereka secara luas, utuh dan alamiah.  Dalam kondisi riil sekolah masih saja terkooptasi dalam ruang kaku. Sehingga secara utuh pendidikan belum berjalan sebagaimana mestinya.

Membangun pendidikan tersebut pada akhirnya memerlukan sinergi yang baik antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Sehingga apa yang dihasilkan sekolah dapat berjalan linear dengan apa yang dibangun dalam keluarga dan masyarakat.

Membangun sebuah pendidikan bukanlah sebuah perkara mudah membalikan telapak tangan. Indonesia saat ini masih saja terjebak pada iklim dimana pendidikan itu ‘syarat’ dengan sebuah aturan yang kaku. Tak jarang program yang dilaksanakan dari tingkat pusat hingga daerah berjalan secara formal dan mengesampingkan aspek-aspek lain seperti follow up,evaluasi dan keberlangsungan suatu program. Sebagai contoh, banyak sekolah yang mendapat bantuan buku melalui dana-dana pemerintah yang melalui dinas terkait. Buku-buku tersebut pada akhirnya hanya tersimpan rapi dalam rak-rak buku bahkan masih ada yang terbungkus rapi dalam sebuah kardus tanpa ada follow up untuk membudayakan kebiasaan membaca (reading habit). 

Pemberlakuan kurikulum baru, pengaturan regulasi anggaran operasional, pergantian menteri, hingga politik pendidikan daerah juga masih mewarnai dinamika pendidikan yang ada. Sudah selayaknya bukan lagi bertindak formal namun perlu adanya langkah nyata serta rolemodel yang luwes yang dijalankan dalam membangun sistem yang baik dalam pendidikan kita. Guru sebagai agen utama perlu diberikan otonomi khusus dalam membangun kreativitas mendidik. Tidak seharusnya guru dihadapkan lagi pada capaian nilai kognitif yang dipatok secara kaku oleh regulasi sekolah maupun dinas terkait. Karena aspek afektif dan konatif juga perlu menjadi perhatian penting dalam sebuah evaluasi.

Menelisik lebih dalam apa yang terjadi saat ini, guru cenderung disistemisasi untuk selalu mengajar klasikal dengan sebuah target materi dan jam mengajar. Sudah selayaknya guru memiliki kesempatan bukan hanya mengajar klasikal namun mampu mendampingi anak-anak secara alami dengan role model yang baru. Dengan begitu guru mampu melihat dan membantu anak dalam mencapai tumbuh kembang baik secara kognitif, afektif maupun konatif.


Fakta pendidikan

Melihat angka partisipasi sekolah (APS) di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik(BPS) secara umum partisipasi pendidikan formal pada 5 tahun belakangan selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan data indikator pendidikan BPS tahun 2015, angka partisipasi sekolah (APS) di jenjang usia 7-12 yang mencapai 98,59.  Jenjang usia 13-15 tahun mencapai 98,59. Jenjang usia 16-18 tahun mencapai 70,32 dan pada jenjang usia 17-24 tahun mencapai 22,79. 

Berdasarkan data statistik tersebut, setiap tahun APS di negara Indonesia selalu meningkat pada masing-masing jenjang umur yang ada. Namun semakin tinggi tingkatan usia dalam APS tersebut ternyata ada suatu penurunan kuantitas jika dibandingkan jenjang usia di bawahnya. Oleh karena itu dapat dikatakan capaian angka partisipasi sekolah tersebut belum maksimal. Masih terdapat di luar sana, anak-anak Indonesia yang belum bisa mengenyam bangku pendidikan baik di jenjang usia 7-12 tahun, 13-15 tahun, 16-18 tahun, maupun 17-24 tahun. Jadi bisa dikatakan “amanat yang tertuang dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 secara tegas belum terlaksana secara maksimal”.

Bukan hanya kesempatan mengenyam pendidikan yang layak, namun angka partisipasi yang rendah pada jenjang umur yang tinggi semakin memperlihatkan bahwa adanya sebuah kesenjangan dalam kehidupan sosial ekonomi pada masyarakat Indonesia. Hal tersebut juga terlihat mencolok pada kualitas pendidikan di daearah Indonesia Timur dan Barat.

Pendidikan bukanlah sesuatu yang murah karena harus diusahakan dengan pundi-pundi rupiah yang besar bagi kalangan menengah bawah. Namun ironis ketika kita melihat fakta dimana Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis sebuah data setidaknya ada 425 kasus korupsi terkait anggaran pendidikan periode 2005-2016. Dengan kasus-kasus tersebut negara mengalami kerugian sebesar Rp 1,3 triliun dan nilai suap Rp 55 miliar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun