Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kelompok Aksi 212 Terus Melembagakan Diri

30 November 2017   22:59 Diperbarui: 2 Desember 2017   21:26 1916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi 212 Tahun 2016 (http://www.republika.co.id/)

Rencana peserta aksi 2 Desember 2016 yang menyimbolkan dirinya 212 untuk melakukan unjuk rasa tanggal 2 Desember 2017 tetapi dengan sebutan reuni 212 tentu saja menggelikan. Din Samsudin menyebut sedikit janggal menggunakan diksi 'reuni' dalam menjalankan aksi tersebut. Pasalnya, reuni biasanya dilakukan di kalangan anak-anak sekolah atau mahasiswa yang sudah lama berpisah karena telah menyelesaikan studi. Setelah berpisah beberapa tahun, mereka ingin bertemu kembali dengan rupa-rupa acara untuk menghidupkan kembali masa lalu, bernostalgia, seraya menguatkan kembali persahabatan yang sudah lama diinterupsi waktu dan jarak.

Lucunya, antara Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta saling lempar-lempar bola. Sang Wakil Gubernur bilang reuni itu urusan Gubernur, sementara gubernur bilang, itu urusan polisi. Syukur saja Polisi tidak ikut-ikutan dalam permainan lempar-lemparan tersebut. Polisi tegas. Kalau ada aksi, sepanjang sudah ada pemberitahuan, Polisi siap mengamankan, kata Kapolri Tito Karnavian.

Kendati banyak wacana tentang tujuan pertemuan itu Kapolri sudah menduga bahwa acara yang begituan tidak jauh-jauh dari urusan politik tahun 2018-2019. Mereka tampaknya terus berupaya melembagakan diri sebagai suatu kekuatan di luar partai politik yang patut diperhitungkan untuk mengegolkan seseorang calon di Pilkada 2018 maupun Pilpres 2019 sebagaimana yang mereka lakukan ketika menggulingkan Ahok dari Pikada DKI 2017. Tapi ini dibantah oleh Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Ma'arif.

Menurutnya tujuan reuni yang diawali dengan kongres nasional alumni 212 pada 1/12/2017, belum ditentukan. Yang jelas, bukan urusan partai atau politik, katanya. Yang penting silaturahmi dengan teman-teman. Mau apa nanti akan ditentukan oleh peserta saat kongres.

Melembagakan Diri

Kongres, reuni, silaturahmi, alumni 212 adalah istilah-istilah yang tampak asing di telinga masyarakat umum terhadap kelompok tersebut. Pasalnya orang-orang yang menggabungkan diri dalam demo bela Islam 2/12/2016 itu, muncul untuk menjegal Ahok. Ia bukan suatu organisasi yang dirancang untuk kepentingan sosial kemasyarakatan atau kepentingan politik.

Namun, setelah Ahok tumbang, mereka ketagihan. Mereka menciptakan arah baru seraya menata diri dalam suatu organisasi seperti halnya organisasi masyarakat atau partai politik. Pemakaian istilah kongres nasional menunjukkan bahwa sejak aksi 2/12/2016 mereka terus mengonsolidasikan diri menjadi satu kekuatan yang menentukan arah kepemimpinan nasional.

Tampaknya, apa yang mereka sebut reuni atau kongres nasional bukan lagi aksi bela Islam atau silaturahmi, atau sekedar penyampaian pendapat seperti dikatakan Din Samsudin. Kalau aksi itu disebut aksi bela Islam, tentu janggal karena tidak ada yang mengancam Islam. Kalau disebut penyampaian pendapat, mungkin tidak masalah karena hal itu sudah lazim dalam alam demokrasi.

Namun, pendapat apa yang hendak disampaikan dan ditujukan kepada siapa, untuk apa? Lagi pula dalam menyampaikan pendapat, mengapa harus ramai-ramai ke Jakarta, dan harus di Monas? Bukankah penyampaian pendapat lebih efektif bisa disampaikan kepada DPR RI melalui wakil dari daerah masing-masing? Kalau itu belum cukup bisa juga disampaikan kepada seluruh lembaga yang terkait dengan isi pendapat yang hendak disampaikan.

Dari situ jelas bahwa Kongres nasional 212 pada 1 Desember 2017 dan yang disebut reuni pada 2 Desember 2017 mengandung sejumlah tanda tanya.

Lagi pula, bergerombol datang ke Jakarta sudah pasti memiliki banyak dampak. Selain menambah kemacetan Jakarta, mereka butuh biaya besar, mulai dari transportasi dari dan ke daerah asal, sampai pada biaya penginapan, dan lainnya. Siapa yang menanggung biaya tersebut? Ketua Panitia Kongres Alumni 212, Bernard Abdul Jabbar bilang ditanggung masing-masing peserta.

Dalang di Balik Aksi 212

Hebat benar 'kan? Apakah mereka semua orang kaya raya sehingga dengan gampang mengeluarkan duit untuk urusan demo. Nyatanya tidak. Bernard bilang ada yang sampai menggadaikan BPKP. Seberapa banyak yang begituan? Tidak disebutkan Bernard. Namun, saya yakin kalau itu benar, paling satu dua orang.

Itu pun belum tentu dipakai untuk membiayai diri ke Jakarta. Jangan-jangan untuk bayar utang karena ditagih terus sebelum berangkat. Atau mungkin sekedar jaga-jaga untuk keperluan lain. Namun, yang terang biaya semua peserta bukanlah dengan menggadaikan BPKP itu. Itu tidak cukup.

Yang patut dinilai benar adalah beredarnya proposal biaya kegiatan sebesar Rp 443 juta yang diwartakan berbagai media. Nilai itu memang dibantah oleh Bernard. Itu rancangan awal yang terlanjur beredar, katanya. Yang benar ada di tangannya tetapi tidak mau disampaikan kepada publik.

Pernyataan Bernard itu menunjukkan bahwa biaya aksi 212 bisa dilaksanakan bukan tanpa penyandang dana. Secara tidak langsung, hal tersebut dibenarkan oleh Ketua Presidium Alumni 212 Slamet Ma'arif. Dikatakannya, dana kegiatan sebesar itu sangatlah wajar. Sebab dalam acara seperti itu ada banyak peralatan yang diperlukan dan perlu disewa seperti sound system dan lainnya, tegas Slamet Ma'arif.

Pertanyaannya, siapa penyandang dana mereka kali ini? Apakah masih sama dengan penyandang dana waktu aksi bela Islam berjilid-jilid sejak Oktober 2016? Apakah Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tidak memberi dukungan karena mereka sudah menjadi pejabat? Bagaimana dengan Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang sejak demo 4 November 2016 selalu menjadi orang terdepan dari DPR yang mendukung aksi kelompok itu? Lalu apakah Gerindra dan PKS tidak terlibat sama sekali? Ini yang selalu menjadi pertanyaan publik.

Apa pun jawabannya, satu hal yang pasti bahwa aksi unjuk rasa yang mereka sebut reuni itu tidak terjadi tanpa dalang. Inilah yang telah dibaca oleh Kapolri, Tito Karnavian. Ujung-ujungnya kepentingan politik. Para peserta aksi ini sudah paham bahwa kekuatan mereka untuk memainkan arah politik tidak bisa diremehkan. Para dalang dan tokoh yang ada di belakang mereka juga paham itu. Bagi mereka, kelompok ini perlu dipupuk agar tetap solid supaya bisa dimobilisasi pada tahun politik tahun 2018-2019.

Dengan begitu, calon yang akan diusung kelak berpeluang besar menjadi pemenang. Itulah sebabnya mereka tak pernah ragu menggelontorkan dana sebesar apa pun. Yang penting kelompok ini tetap solid dan kapan diperlukan bisa dengan mudah dimobilisasi. Bahwa Indonesia kacau balau, mereka tidak ambil pusing. Yang penting dapat kuasa. Itu saja.

Ini artinya, bangsa Indonesia perlu siap-siap menghadapi berbagai isu yang akan mereka mainkan kelak. Harus siap menghadapi isu SARA, terutama isu agama untuk menjegal siapa saja yang mereka anggap tidak sesuai dengan ideologi peserta aksi 212 itu. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun