Mohon tunggu...
Yosafati Gulo
Yosafati Gulo Mohon Tunggu... profesional -

Terobsesi untuk terus memaknai hidup dengan belajar dan berbagi kepada sesama melalui tulisan. Arsip tulisan lain dapat dibaca di http://www.yosafatigulo.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekeliruan Ricky Memahami Kekeliruan JPU Mendakwa Ahok

21 Desember 2016   11:48 Diperbarui: 21 Desember 2016   15:26 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://sukatulis.wordpress.com/2011/10/10/soal-dan-jawaban-hukum-pidana/

Tampaknya Ricky terlalu bersemangat menilai JPU sehingga implikasi konsep delik formil dan delik materil yang pernah dipelajarinya di fakultas hukum tak teringat lagi. Ia juga gagal memahami mengapa ada pemilahan huruf a dan b dalam Pasal 156a tersebut. Dia kira hal itu tidak boleh dipilah menjadi dua pokok delik.

Jalan pikiran Ricky kira-kira begini: JPU seharusnya mendakwa Ahok dengan Pasal 156a huruf a dan b. Sebab keduannya satu kesatuan yang tak boleh dipisah-pisah. Lalu, karena Pasal 156a itu dia anggap delik materil dan tidak ada akibat dari perbuatan yang didakwakan kepada Ahok, maka JPU tidak punya dasar hukum mendakwa Ahok. Dengan kata lain, JPU harus menghhentikan perkara Ahok.

Terus terang keinginan ini secara sosial saya suka. Lebih-lebih karena saya suka pekerjaan Ahok yang belum tertandingi oleh Gubernur mana pun sampai saat ini. Namun, dari sisi hukum, tidak. Sangat menyesatkan bila anggapan yang salah terhadap suatu ketentuan UU diterapkan dalam menegakkan hukum.

Dasar Penentuan Delik Ala Ricky

Lebih baru lagi, tapi mungkin aneh bagi yang lain, Ricky membuat dasar pemikiran baru dalam menentukan jenis delik. Setiap ketentuan yang mengandung frasa “dengan sengaja” dan “dengan maksud” dalam KUHP, menurut Ricky delik itu adalah delik materil.

Lha, kalau itu dasar pikirannya, bagaimana dengan delik pencurian dalam Pasal 362 KUHP? Rumusannya: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud (huruf tebal dari penulis) untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Apakah dengan adanya frase “dengan maksud” tanpa frase “dengan sengaja”, maka delik itu disebut setengah formil dan setengah materil? Tentu tidak. Delik itu tetap saja delik formil. Frasa “dengan maksud” di situ masih setara dengan frasa “dengan sengaja”. Masih berada pada tataran mens rea (niat) dari perbuatan. Belum memerlihatkan gerak tubuh, perbuatan atau tindakan apalagi akibat. Begitu seseorang mengambil barang yang bukan miliknya secara melawan hukum, barulah ia dinyatakan telah melakukan tindak pidana pencurian tanpa harus menunggu akibat dari perbuatan tersebut. Perbuatan atau tindakan dalam bentuk gerak tubuh mengambil inilah yang disebut actus reus. Jadi, bukan "dengan sengaja" seperti anggapan Ricky.

Ditilik dari rumusan delik Ricky, tindakan itu pun jelas disengaja dan memiliki maksud. Mana ada yang melakukan pencurian “tidak dengan sengaja” atau “tidak dengan maksud” tertentu. Pasti dengan sengaja, direncanakan, dan dengan maksud untuk memilikinya. Tindakan ini sama dengan tindak pidana penyuapan (Pasal 209, 210 KUHP) sumpah palsu (Pasal 242 KUHP), pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) sebagai delik formal. Tidak perlu menunggu akibat.

Mana ada penyuap yang tidak dengan sengaja menyuap, mana ada pemalsu surat yang tidak dengan sengaja dan tanpa meksud ketika melakukan pemalsuan surat, mana ada yang tidak dengan sengaja dan tidak punya maksud tertentu ketika melakukan sumpah palsu. Semuanya pasti mengandung unsur “dengan sengaja” dan “dengan maksud” tertentu.

Benar bahwa frase “dengan sengaja” dan “dengan maksud” dalam delik-delik tersebut tak tertulis eksplisit. Namun, tidak berarti karena tak tertulis, maka unsur-unsur itu tidak ada, bukan? Pernyataannya, apakah delik-delik itu kemudian disebut delik materil? Tentu tidak. Pasal-Pasal itu tetap merupakan delik formil. Pada saat orang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, si pelaku dinyatakan telah melakukan tindak pidana. Tak perlu menunggu negara bangkrut akibat suap menyuap untuk mendakwa pelaku. Ketahuan menjanjikan, apalagi tertangkap tangan memberikan suap, dasar hukum melakukan penangkapan oleh KPK sudah dukup.

Di sinilah kekeliruan berpikir Ricky. Kalau delik-delik itu dijadikan delik materil, menunggu akibat, maka akan banyak koruptor yang lolos dari jeratan KPK. Akan banyak yang dirugikan karena sumpah palsu dan pemalsuan surat, dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun