Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Prasyarat Dasar yang Memungkinkan Polri Transparan Mengungkap Dalang Kerusuhan Mei 2019

18 Juni 2019   13:08 Diperbarui: 18 Juni 2019   14:48 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: kompas.com

Siapa dalang di belakang pelaku kerusuhan 22 Mei 2019 masih tanda tanya. Kendati pernah dijanjikan Menko Polhukam, Wiranto, usai memimpin rapat koordinasi bersama Polri dan TNI, 10 Juni 2019 terkait situasi keamanan negara dan persiapan pengamanan sidang PHPU Pilpres di MK. Waktu itu Wiranto berjanji akan dibeberkan kepada publik esok harinya, 11 Juni 2019.

"Kita kan ingin penjelasan detail dan lengkap mengenai tokoh-tokoh yang ditangkap. Besok, jam 10.00 WIB, akan disampaikan oleh timnya yang berwenang," ujar Wiranto. "Besok itu bukan sekadar informasi saja. Tetapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mereka juga," lanjutnya. (Kompas.com)

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo. Menurutnya, polisi sedang membagi peran pelaku yang ditangkap ke dalam beberapa kategori.

"Ini masih dibagi layer-nya, sebagian besar di layer 3-4, pelaku dan koordinator lapangan. Kalau layer 1-2 itu aktor intelektual, penyandang dana," ungkap Dedi, di Gedung Humas Mabes Polri beberapa hari sebelum pernyataan Wiranto.

Tanggal 11 Juni memang telah diadakan jumpa pers di media center Menko Polhukam. Selain Wiranto turut pula dihadiri oleh beberapa petinggi Polri dan TNI. Namun, apa yang diutarakan belum sampai pada aktor intelektual sebagai tokoh sentral maupun penyandang dana.

Namun, yang diungkap pada konferensi pers tersebut masih terbatas pada para tersangka yang mengaku diperintah dan dibayar oleh mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen untuk membunuh empat tokoh nasional dan Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya. Juga Habil Marati yang disebut-sebut sebagai pemberi dana sebagai upah dan dana operasional bagi para tersangka melalui KZ.

Pertanyaannya, siapa sebetulnya otak di balik kerusuhan itu. Apakah sebatas Kivlan dan Habil Marati? Apakah kerusuhan tersebut terlepas sama sekali dengan para pelaku demo yang dirancang jauh-jauh hari oleh Amien Rais dan kawan-kawannya sehingga para perusuh itu disebut penyusup?

Mari kita cermati dengan hati-hati supaya pertanyaan pada judul mendapat jawaban objektif.

Pasti bisa ditemukan
Dengan tertangkapnya para pelaku dan dua tokoh lain yang dianggap sebagai pengendali, Kivlan dan Marati, maka lorong gelap untuk menemukan siapa "big dalang" sebagaimana dikatakan Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane bisa ditemukan. Jangan pernah meragukan kemampuan polisi untuk menelusuri lorong-lorong gelap itu. Itu sudah merupakan pekerjaannya sehari-hari.

Penuturan empat calon eksekutor yang hendak mengenyahkan para tokoh dan pimpinan lembaga survey seperti Iwan dan Tajudin telah memberikan informasi penting tentang peran Kivlan dan Marati kepada publik.

Sudah barang tentu kalau para perusuh diinterogasi intensif, maka  "big dalang" yang disebutkan S. Pane itu akan ditemukan juga. Apalagi S. Pane sudah menyebutkan inisialnya sebagai TS, bahkan lebih fulgar lagi dengan menyebutkan keluarga Cendana.

Dengan istilah TS dan keluarga Cendana, dalam pikiran pendengar wawancara S. Pane di TV dan membaca di berbagai media, pasti akan muncul nama Tommy Suharto karena dalam keluarga Cendana, tidak ada nama lain yang memakai inisial itu.

Bagi polisi, nama Tommy bukan orang asing. Juga bukan orang sembarangan. Ia adalah anak Presiden RI ke-2 yang sudah pernah dihukum karena mendalangi pembunuhan Hakim Agung, Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung RI, Syaifuddin Kartasasmita. Ia juga pengusaha besar yang uang dan asetnya triunan di bank maupun di badan usaha. Kendati uang dan usaha itu kerap disebut sebagai hasil KKN ayahnya semasa menjadi Presiden RI.

Jika bukan orang sekaya dia, bagaimana mungkin preman dari Surabaya bisa didatangkan ke Jakarta hanya sekedar membuat kerusuhan dengan fasilitas transportasi pesawat udara dan menginap di hotel mewah.

Sampai di sini, dapat dikatakan polisi tidak kesulitan. Nama sudah diketahui secara jelas. S. Pane tidak main-main. Kalau ia bicara tanpa data, pasti ia bisa dituduh fitnah dan Tommy Suharto bisa menjebloskannya ke penjara. Namun, itu tidak terjadi. Hal ini membuktikan bahwa apa yang dikatakan S. Pane benar.

Yang masih menjadi persoalan menurut saya adalah Polisi tengah melakukan pencarian bukti yang lebih cermat agar penetapan Tommy sebagai tersangka tidak bisa dibantah secara hukum.

Masih mencari aktor lain
Bagi polisi, Tommy bukanlah aktor satu-satunya. Mengingat kerusuhan menyebar di beberapa tempat di luar Jakarta, ada dugaan bahwa tembakannya bukan sekedar melenyapkan empat tokoh nasional dan pimpinan lembaga survey tadi.

Lebih besar dari itu. Bahkan sangat mungkin terkait dengan rencana besar merebut kekuasaan atau paling tidak mengacaukan negara untuk tujuan menggagalkan keterpilihan Jokowi-Ma'ruf Amien menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024.

Boleh saja mereka berjalan sendiri-sendiri atau berkolaborasi dalam cara tetapi dengan tujuan masing-masing. Boleh jadi juga terpisah dengan rencana peserta demo yang digagas oleh para pendukung Paslon 02, tetapi bukan tidak mungkin juga mereka berkolaborasi semuanya dengan tujuan yang sama maupun dengan tujuan yang berbeda-beda.

Untuk membedah kerumitan itu, polisi butuh waktu yang cukup dan keahlian menganalisis setepat-tepatnya sehingga kesimpulan yang diambil tidak sembarangan.

Yang jelas, bahwa dengan keterlibatan beberapa oknum mantan pejabat TNI dan Polri, bukan tidak mungkin rencana makar memang ada. Cuma bukan makar yang lazim dengan kekuatan senjata melainkan makar untuk menggalang kekuatan massa yang bisa melemahkan dan mendelegitimasi pemerintahan yang ada. Pemastian ini butuh kehati-hatian, ketelitian, kecermatan menggali informasi untuk dianalisis.

Untuk mengungkap hal itu, mustahil polisi bisa bekerja sendiri. Karena terkait dengan TNI, mau tidak mau perlu ada kesamaan sikap dan komitmen antar kedua lembaga.

Publik berharap dengan kekompakan yang selalu ditunjukkan oleh Panglima TNI, Hadi Tjahjanto dan Kapolri, Tito Karnavian dapat menjadi sikap dasar dari seluruh anggota di kedua lembaga tersebut. Jika hal itu yang terjadi, kemungkinan untuk menemukan aktor utama selain Tommy Suharto dapat diwujudkan.

Hanyalah dengan adanya sikap dasar itu polisi bisa transparan dalam mengungkapkan kasus kerusuhan 22 Mei. Itulah yang memungkinkan polisi mampu menelusuri lorong gelap sampai menemukan dan mengungkap ada tidaknya dan berapa banyak oknum TNI dan Polri aktif yang juga terlibat pada kerusuhan.

Tanpa itu, polisi tidak akan berani. Kasus kerusuhan, mungkin akan diredam. Penelitian lebih lanjut diujungkan pada titik Kivlan dan Habil Marati sebagai aktor penanggung jawab akhir. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun