Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tahun Kekalahan Petani dan Nelayan, Sebuah Refleksi Tahun 2017

23 Desember 2017   01:51 Diperbarui: 23 Desember 2017   01:56 4718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Pulau Pari saat menghadiri sidang kriminalisasi terhadap pengelola Pantai Pasir Perawan di PN Jakarta Utara (Dok. Forum Peduli Pulau Pari 2017)

Substansi UUPA adalah negara memiliki wewenang untuk mengendalikan hak atas tanah dan air namun tidak memiliki; Hak perorangan diakui namun penjualan tidak diperkenankan, serta; Tanah memiliki fungsi sosial, penggunaan tanah harus mendapat persetujuan masyarakat. Sayangnya baik pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria 1960 justru dibenamkan sejak Orde Baru dan diganti dengan regulasi sektoral yang justru memacu perniagaan hak atas tanah dan perniagaan tanah itu sendiri. 

Kebanyakan irama dalam regulasi sektoral ini ramah investor namun kejam ke warga karena proses pengabaian warga lokal banyak terjadi, peta-peta dibuat di atas meja di kota, bukan dengan masyarakat setempat, teritorialisasi gencar dilakukan dengan penciptaan "kawasan" atau "zona-zona" yang dibuat berdasarkan abstraksi atas kondisi empirik bahwa sudah ada tata kelola yang terlebih dahulu eksis di masyarakat. 

Contoh kongkritnya adalah anehnya istilah "desa dalam kawasan hutan" yang menggunakan logika terbalik karena desa ada terlebih dahulu daripada penetapan batas hutan, maka yang lebih tepat adalah "hutan dalam wilayah desa." Di sinilah konflik agraria banyak dimulai sehingga nuansa ekonomi politik pro-pasar jelas mendominasi dan secara langsung mengingkari amanat konstitusi dari pendirian negara ini.

Reforma Agraria sejati,bukan sertifikasi.

Pada saat ini dimana hukum legalis positivistik berselingkuh mesra dengan ekonomi politik akumulatif kapitalistik maka bisa dikatakan resolusi atas konflik agraria yang adil bagi petani dan nelayan tak akan tercapai tanpa terobosan yang radikal. Warga Pulau Pari, warga Surokonto, Tanjung  Balai Karimun dan petani Paliyan kalah oleh pengadilan meski regulasi banyak mendukung. 

Jikapun hukum (oleh MK) memenangkan warga seperti kasus Petani Kendeng namun di tingkat politik daerah petani tetap kalah. Kala praktik-praktik penguasaan sumber daya agraria layaknya kartel ini terlihat jelas dimana pengadilan berwarna abu-abu sementara elit bisnis dan elit penguasa tak bisa dibedakan maka jalan menuju solusi yang dihadirkan adalah menghidupkan kembali reforma agraria dan prinsip-prinsip utama dalam UUPA 1960 sebagai pelaksanaan UUD 1945 pasal 33 dalam penataan pertanahan di seluruh lanskap baik dataran tinggi (upland), dataran rendah (hinterland) maupun pesisir (coastal) dan pulau kecil (small island). 

Reforma agraria bukanlah solusi melainkan jembatan yang mendasari terjadinya perombakan penguasan tanah agar tercipta keadilan sosial.

Namun, penting dicatat bahwa reforma agraria yang dilaksanakan adalah reforma agraria yang sejati, bukan Reforma Agraria (RA) yang selama ini menjadi jualan politik tiap presiden berupa bagi-bagi sertifikat. Reforma Agraria sejati menurut "guru agraria" Indonesia, Wiradi (2017) didasarkan pada empat hal yakni:

 a) RA hendak menghilangkan atau mengurangi ketimpangan struktur penguasaan dan pemanfaatan tanah demi keadilan dan kepentingan petani  kecil dan buruh tani tak bertanah; 

b) Pelaksana RA bukan kerja rutin yang bisa dititipkan di lembaga rutin seperti Kemendagri atau Menko Ekuin melainkan bersifat ad hoc dan memiliki batas waktu; c) Tahapan awal dari RA adalah "registrasi" tanah untuk mengetahui tingkat ketimpangan, sementara "sertifikasi" adalah yang terakhir, dan d) Tanah objek RA adalah surplus land alias tanah yang dikurangi dari kepemilikan yang melampaui batas maksimum.

Implikasi lain, seharusnya RA justru menyasar pada daerah-daerah di mana konflik agraria terjadi karena akan aneh apabila RA tidak menyentuh daerah yang berkonflik agraria. Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dengan membagi-bagi sertifikat tanah tentu jauh dari gambaran pelaksanaan RA yang sejati karena pada dasarnya tanah tersebut memang sudah dikuasai masyarakat dan tidak ada konflik atasnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun