Mohon tunggu...
Yoppie Christ
Yoppie Christ Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB, Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut IPB

orang kecil yang terlambat belajar...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saber Pungli Mulai Salah Sasaran

7 Juni 2017   16:00 Diperbarui: 9 Juni 2017   16:28 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Pasir Perawan yang bersih dan dikelola mandiri oleh masyarakat Pulau Pari (dok.pribadi)

Kejadian pada hari Sabtu tanggal 11 Maret 2017 sungguh menghenyakkan akal (lihat Kompas.com di hari yang sama). Pada hari itu, enam orang warga Pulau Pari Kepulauan Seribu ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan oleh Tim Saber Pungli dari Resmob Kepolisian Kepulauan Seribu dengan alasan bahwa keenam warga tersebut melakukan praktik pungutan liar dalam bentuk meminta retribusi Rp 15.000 untuk tamu yang hendak camping di Pantai Perawan serta Rp 5.000 bagi wisatawan yang hanya masuk ke objek wisata pantai yang dikelola masyarakat ini. 

Retribusi tersebut adalah harga jasa yang disepakati warga Pulau Pari untuk dilaksnakan oleh Pengelola Pantai Perawan sebagai imbal jasa perawatan fasilitas pantai, kebersihan, jasa pengelola, dan sisanya adalah untuk dana sosial publik seperti donasi anak yatim dan mesjid. Dalam kompas.com (11/3/2017) pihak Polda Metro juga telah mengkonfirmasi ini melalui pernyataan Kabidhumas Polda Metro Kombes Argo Yuwono.

Satu hal yang terbersit di kepala saya saat itu adalah: Di mana punglinya? Pertanyaan berikutnya: kenapa pungli nyasar ke warga? Kemudian kejanggalan-kejanggalan lain muncul sehingga saya sampai pada kesimpulan dan pemahaman bahwa ada yang keliru dalam tindakan penegakan hukum khususnya Kepolisian Resort Kepulauan Seribu maupun Polda Metro Jaya yang mengamininya. Sampai hari ini tiga dari enam warga masih ditahan di Rutan Cipinang, kasusnya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Utara dan mulai menjalani persidangan dengan dakwaan melanggar KUHP pasal 368 tentang Pemerasan dengan ancaman maksimal 9 tahun. 

Kasus ini potensial memukul kredibilitas penegak hukum jika benar dipaksakan untuk diproses di pengadilan karena jika tindakan ketiga warga tersebut dinilai pungli maka ribuan warga, dari tukang parkir, penarik loket pasar malam, penarik loket sepakbola tarkam, penarik tiket desa wisata, dan sebagainya bisa disambar polisi dengan pasal pungli tanpa ampun. Maka cita-cita Jokowi dengan Saber Pungli hanya akan menjadi muntahan peluru nyasar yang memakan korban orang tak bersalah. Tentu bukan preseden yang baik bagi pemerintah yang sedang berbenah.

Apa Saber Pungli dan siapa yang menjadi target Saber Pungli?

Sapu Bersih Pungutan Liar merupakan hasil dari rapat koordinasi antara Presiden Joko Widodo dengan para gubernur seluruh Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2016 yang melihat bahwa praktik pungutan liar yang lama terjadi di seluruh lapisan pelayanan publik di birokasi mulai dari pusat sampai daerah. Gayung bersambut, dengan cepat keinginan ini diperkuat dengan dasar hukum, maka terbitlah Peraturan Presiden nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo bahwa "..tidak hanya urusan KTP, tidak hanya urusan sertifikat, tidak hanya urusan di pelabuhan, kantor, bahkan di rumah sakit, hal apapun yang berkaitan dengan pungutan tidak resmi harus dihilangkan. 

Pungutan liar berdampak buruk pada kualitas pelayanan..." secara sigap dikristalisasi dalam bentuk regulasi dan instrumennya. Regulasi turunannya pun terbit dalam bentuk Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan no 78 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Pada tanggal 28 Oktober 2016 sejumlah 24 orang dilantik sebagai Tim Saberpungli nasional yang terdiri atas unsur Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Ombudsman RI, Badan Intelijen Negara dan Tentara Nasional Indonesia (saberpungli.co.id)

Dari pernyataan presiden maupun keputusan menkopolhukam di atas, maka yang menjadi target dari Saber Pungli adalah pada jajaran birokrasi pegawai negeri sipil baik di pusat maupun daerah. Melihat Perpres 87 pasal 2 dinyatakan bahwa "Satgas Saber Pungli mempunyai tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah". Pada bagian Kewenangan di pasal 9 poin e dan f juga menegaskan lingkup aturan ini. 

Poin e menyatakan "tim saber pungli berwenang memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga serta kepala pemerintah daerah untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ditambahkan dengan wewenangnya di poin f yakni "memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan tugas unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayanan publik kepada pimpinan kementerian/lembaga dan kepala pemerintah daerah." Tidak ada pasal yang menyatakan bahwa aturan ini menargetkan warga sipil biasa sebagai objek pelaku pungutan liar.

Demikian pula dengan Kemenkopolhukam no 78 tahun 2016. Menurut peryataan seorang Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta bahwa "definisi dan kriteria pungli dalam Kemenkopolhukam no 78 tahun 2016 bukan untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil biasa. Saber Pungli bergerak di jajaran pegawai negeri sipil atau PNS di lembaga-lembaga pemerintahan, birokrasi, kementerian, dan pemerintah daerah, bukan asal nangkap orang..." (sinarkeadilan.com 26/06/2017). Dengan argumentasi ini dapat dinilai bahwa yang dilakukan oleh Tim Saberpungli Resmob Kepolisian Resort Kep. Seribu adalah keliru dan salah sasaran.

Apa Hak kelola Rakyat dalam Pariwisata?

Karena konteks permasalahan penangkapan nelayan ada pada konteks pariwisata, maka UU Pariwisata bisa juga digunakan untuk melihat apakah yang dilakukan oleh pengelola wisata Pantai Perawan merupakan praktik pungutan liar atau pemerasan seperti dikenakan pada ketiga warga Pulau Pari tersebut oleh tim penyidik. UU RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pasal 19 secara eksplisit menyatakan bahwa "setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas baik sektor kerja, konsinyasi, dan pengelolaan. Kata "prioritas" menunjukkan bahwa UU Pariwisata menyadari bahwa warga lokal lah yang paling berhak mengelola obyek wisata dan dikarenakan banyak masyarakat yang ikut menikmati manfaat destinasi wisata, maka adalah sah dan sudah seharusnya bila warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mengembangkan potensi sumber daya alamnya menjadi desa-desa wisata, pantai kelola masyarakat, selfie spot, sunset point, dan lain sebagainya mendahului instansi pemerintah untuk membangun prasarana destinasi wisata dan dijadikan salah satu pemasukan bukan pajak oleh Kementerian Pariwisata. Dalam perundangan yang sama yakni pasal 22 masyarakat berhak mendapat perlindungan hukum dalam berusaha dari pemerintah daerah, bahkan pemerintah daerah memiliki kewenangan meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan potensi yang ada (pasal 28) dan juga seharusnya upaya pendanaan mandiri oleh masyarakat dalam bidang pariwisata justru mendapat insentif oleh pemerintah daerah (pasal 60) dan bukan justru dikriminalkan.

Persis pada konteks inilah ketiga nelayan Pari berada, ketiga orang yang ditahan merupakan pengelola Pantai Pasir Perawan yang dipercaya oleh masyarakat untuk mengelola dan merawat kawasan pantai, termasuk juga memfasiitasi dan mengatur warung-warung di pantai agar tetap berjumlah terbatas dan tidak merusak keindahan pantai itu sendiri. Kenapa mereka dipilih sebagai pengelola juga karena merekalah yang pertama kali "babat alas" atau membuka kawasan pantai Pasir Perawan dari semak pada tahun 2010 dan menjadikannya obyek wisata utama penghasil pendapatan warga Pari. Dengan kunjungan wisatawan rata-rata 3000 orang per bulan dan pemasukan sekunder juga dinikmati oleh masyarakat lain seperti pengusaha homestay, warung makan dan kelontong, pembuat kripik sukun dan agar-agar rumput laut, persewaan alat snorkling dan perahu, guide wisata, belum lagi bagi agen travel di luar pulau. 

Lalu, dimana peran pemerintah daerah cq Dinas Pariwisata? Jawabannya: Tidak ada. Tidak ada satu pun bentuk kontribusi dinas pariwisata di lokasi obyek wisata ini baik itu loket retribusi, balai informasi, atau bahkan sekedar tempat sampah bertuliskan dinas pun tidak ada. Maka jelas tidak salah ketika masyarakat meminta imbal jasa dari wisatawan bagi perawatan obyek wisata ini karena memang tidak ada subsidi ataupun kontribusi pemda dalam pengelolaan Pantai Pasir Perawan. Sekali lagi, dimana punglinya dan dimana pemerasannya?

Faktor-faktor ekstra legal

Dari kedua argumen sederhana di atas kemudian memunculkan pertanyaan lain: ada apa dengan kasus pemidanaan ketiga nelayan pengelola pantai ini? Pertama-tama, terdapat kejanggalan dimana satu hari sebelum penangkapan Tim Resmob Kepulauan Seribu tiba-tiba memasang spanduk berisikan himbauan agar tidak melakukan pungli. 

Tak jelas ditujukan ke siapa karena spanduk dipasang begitu saja di halte dermaga Pulau Pari. Kejanggalan kedua, esok harinya enam orang pengelola yang sedang berjaga di gerbang Pantai Pasir Perawan ditangkap tangan dengan alasan pungli. Ini tidak wajar karena sebetulnya tidak perlu Operasi Tangkap Tangan dengan senjata lengkap juga karena memang setiap hari pengelola bergantian berjaga di gerbang untuk membagikan tiket retribusi pada pengunjung secara terbuka, bukan tertutup dan tidak dalam posisi membahayakan semisal bersenjata. Kedua peristiwa ini tampak berhubungan jelas yakni pemasangan spanduk saber pungli, operasi tangkap tangan, lalu sangkaan pungli. Apakah rangkaian itu tampak wajar?

Atas kejadian ini, setidaknya ada dua kemungkinan yang menjadi latar belakang kejadian yakni: Pertama, kompetensi polisi dalam tim Saber Pungli Resmob patut dipertanyakan. Apakah memang memahami dasar hukum dan pengertian dari pungli itu sendiri sehingga tanpa malu memberlakukan aturan yang seharusnya ditujukan bagi birokrasi dan aparat negara (termasuk polisi juga tentunya) terhadap warga sipil? Kedua, apakah ada faktor-faktor ekstra-legal (di luar fakta hukum) yang mempengaruhi adanya tindakan penangkapan terhadap tiga orang ini? Seperti diketahui umum (karena sudah terpublikasi di media utama nasional maupun daerah.pen) bahwa saat ini warga Pulau Pari sedang berkonflik agraria dengan PT BGN sebuah korporasi yang bergerak di sektor pariwisata, meskipun konfliknya sendiri belum menjadi kasus sengketa secara legal di pengadilan. 

Konflik ini mengalir secara laten lebih dari satu dekade namun beberapa warga sudah mengalami dampak baik tekanan, somasi bahkan ada yang sudah dipidana karena didakwa melanggar masuk pekarangan tanah milik PT. Ketiga orang yang ditangkap adalah warga yang tidak setuju dengan klaim kepemilikan tanah PT dan pernah mendapat tekanan yang sama menyangkut aktivitas mereka di Pantai Pasir Perawan yang juga diklaim sebagai milik PT.

Kedua kemungkinan di atas bisa jadi salah, atau bisa juga benar, namun yang pasti kasus ini akan menjadi preseden hukum yang sangat buruk bagi daerah lain, terlebih lagi terjadi dalam konteks adanya konflik antara swasta dan warga. Akan sangat mudah orang menghubungkan penangkapan ini dengan "siapa" yang berkonflik dan "siapa" yang dibela oleh aparat negara.  Apabila ketiga orang ini divonis bersalah maka harap bersiaplah tukang parkir sampai masyarakat penggagas desa wisata di seluruh Indonesia, mereka harus siap untuk ditangkap dengan pasal pungutan liar atau juga pemerasan. 

Kondisi yang sangat kontradiktif bagi penegakan hukum, karena warga sipil yang seharusnya dilindungi oleh aparat negara dan aturan hukum justru ditangkap oleh penegak hukum dengan dasar aturan hukum yang (seharusnya) mengatur penegak hukum itu sendiri. Sungguh suatu nalar yang sulit untuk dipahami akal sehat. Jadi mohon Pak Wiranto selaku ketua tim Saberpungli menjadikan kasus ini untuk perbaikan dan introspeksi bagi tim Saberpungli sendiri. Di sisi lain, ketiga nelayan pari berhak untuk dibebaskan tanpa syarat karena dakwaan pada mereka dengan alasan pungli dan pemerasan tidak memenuhi syarat. Saya masih percaya ada polisi yang baik di Indonesia (ll)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun