Suasana semakin gelap kala magrib menjelang. Saya menyisir ke arah utara dan memotong ke barat, melewati celah yang ditumbuhi pepohonan Asam Jawa dan semak di antara dua sudut kelas. Kres-kres bunyi renyah dedaunan kering dari pijakan kaki, akhirnya tiba juga di sudut belakang aula sisi utara.
Aula ini sebenarnya terletak di halaman depan kampus. Namun, karena tidak lagi terurus, bangunan-bangunan di dalam lingkungan kampus tampak menua dengan semak liar menutupi sekeliling bangunan termasuk gedung aula ini.
Di depan aula, di seberang jalan masuk ada kuburan tua. Kondisi kuburan tua ini juga tak lagi terurus. Warna putih penanda pagar setinggi pinggang tampak di sela-sela semak belukar, menutupi kuburan itu.
Dengan cepat saya meraih gagang pintu belakang aula, menekannya ke bawah sembari mendorong daun pintu kusam ke arah dalam. Tampak tumpukan peralatan latihan berserakan di lantai di samping pintu. Saya menoleh ke dalam aula.
Kondisi di dalam gelap.
Di sudut aula di seberang selatan saya seperti melihat seseorang berjilbab kuning duduk dibalik meja. "Siapa itu," tanya saya dalam hati. Seketika bulu kuduk menegang. Saya melempar marka begitu saja, menutup pintu dan berbalik menuju sisi lapangan tempat sepeda motor terparkir.
Saat berkendara pulang, saya jadi paham kenapa peralatan latihan berhamburan di lantai. Boleh jadi anak-anak yang ketakutan melempar peralatan latihan begitu saja. Mungkin anak-anak juga melihat penampakan di dalam aula itu.
Sepekan berlalu, usai latihan saat beranjak pulang, saya menceritakan kejadian minggu lalu kepada seorang rekan pelatih yang bermukim di sekitar kampus.
"Ooh abang lihat juga," respons sang rekan. "Di pohon-pohon asam di halaman samping kampus itu sering nampak kuntilanak juga, terbang dari pohon ke pohon, orang sini (yang tinggal di kampung sekitar kampus) sering melihatnya," ungkapnya.
"Kalau malam gelap sekali di sini, kalau pulang malam saya biasanya lewat jalan di pinggir kali itu, kalau lewat depan kampus seram, ada kuntilanak!" sambungnya.