Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menggugat Kepahlawanan Kartini

22 April 2017   13:31 Diperbarui: 23 April 2017   23:00 2392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rohana Kudus. Foto: penaaksi.com

Apakah Raden Ajeng Kartini layak diberi gelar Pahlawan Kemerdekaan? Mengapa Kartini tidak menolak ketika dijodohkan dengan laki-laki yang sudah memiliki 3 istri? Benarkah penobatan Kartini sebagai pahlawan karena rekayasa (Belanda)?  Hebat mana, Kartini atau Rohana Kudus, Kartini atau Laksamana Malahayati?

Nama Kartini menempati posisi istimewa di dua zaman sekaligus; zaman penjajahan (kolonial) dan zaman kemerdekaan. Kartini sangat diagung-agungkan oleh Belanda karena digambarkan sebagai keberhasilan Belanda mendidik anak-anak di tanah jajahan. Kartini menjadi alat propaganda politis etis Belanda. Melalui sosok Kartini, Belanda berseru kepada dunia, negaranya tidak hanya menguras harta kekayaan dan memeras keringat pribumi Hindia Belanda, namun juga melakukan balas budi dengan memberikan pendidikan, kesetaraan dan kebebasan pikir kepada inlander.

Penerbitan tulisan-tulisan Kartini menjadi ajang promosi Belanda. Surat kabar Belanda tak henti-hentinya menulis tentang kehebatan Kartini dan kiprahnya. Perlahan, persepsi negatif Belanda di Eropa bergeser. Parlemen Belanda tidak lagi garang menyoroti “kebengisan” pemerintah Hindia Belanda terhadap pribumi karena sosok Kartini. Tak pelak, Kartini menjadi pahlawan bagi pemerintah Hindia Belanda.

Lalu tibalah zaman kemerdekaan. Indonesia terbebas dari penjajahan Belanda. Sejarawan Indonesia segera melakukan koreksi terhadap semua hal yang berbau Belanda dalam suatu proyek yang dinamai nasionalisasi historiografi. Tokoh-tokoh yang oleh Belanda dianggap perusuh, seperti Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nya Dien, Christina Martha Tiahahu, Pangeran Antasari, Hasanudin, dll,  diluruskan, bahkan diputarbalik. Sebab dari kacamata Indonesia, Pangeran Diponegoro dkk, adalah seorang pahlawan, bukan pemberontak.   

Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Kartini. Entah karena tidak melakukan pembelaan fisik  maupun dukungan verbal terhadap Belanda, Kartini tetap menempati posisi penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan kesetaraan gender, utamanya pendidikan bagi kaum perempuan. Atas jasanya itu, tahun 1964, Presiden Soekarno menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional, dan tanggal lahirnya, 21 April, ditetapkan sebagai Hari Kartini- yang dalam perjalanannya dimaknaai sebagai hari kesetaraan perempaun dengan laki-laki dan pembebasan perempuan dari belenggu kebodohan.

Gugatan atas penasbihan Kartini sebagai Pahlawan Nasional terus bergulir hingga hari ini. Tidak sedikit yang berpikiran, Orde Baru sukses melakukan politik Jawa sentries melalui simbol Kartini. Sebagai alas pembenar argumen itu, adalah perayaan Hari Kartini di mana anak-anak perempuan diwajibkan menjadi “Jawa” dengan memakai kemben, ditutup kebaya dan jarit, serta rambut bersanggul. Meski belakangan pakaian adat juga keagamaan mulai tampak dalam perayaan Hari Kartini, image Kartini sebagai alat politik Belanda dan Soeharto, tidak serta-merta hilang.

Tidak sedikit pula yang mengatakan Kartini tidak lebih hebat dari Rohana Kudus- perempuan asal ranah Minang, Sumatera Barat. Hidup di zaman yang sama, Rohana Kudus berjuang melalui tulisan-tulisannya.  Melalui Sunting Melayu- surat kabar yang seluruhnya diawaki perempuan, Rohana menyuarakan perlawanannya kepada Belanda. Bukan hanya jurnalis, Rohana juga mendirikan sekolah untuk mendidik kaumnya. Perjuangan Rohana tidak mencuat karena bertentangan dengan politik etis Belanda. Jika “suara hati” Kartini selalu ditulis panjang-lebar dan menempati halaman utama surat kabar - surata kabar Belanda, tidak demikian halnya dengan kiprah Rohana Kudus.  

Bagaimana pula dengan Keumalahayati alias Laksamana Malahayati yang memimpin langsung pertempuran laut nan heroik dan membunuh Cornelis de Houtman di atas geladak kapal dalam perkelahian satu lawan satu? Meski nilai kepahlawanan tidaklah sebangun dengan keberanian fisik- karena terkadang keberanian pikiran tidak kalah hebat dari keberanian fisik, tetapi dalam konteks Kartini, hal ini perlu disampaikan sebagai pembanding. Jika Kartini ditetapkan sebagai pahlawan karena keberanian pikirannya- bukan keberanian fisik, adakah yang kurang dari Rohana Kudus?

Gugatan terhadap kepahlawanan Kartini, bukan untuk mengecilkan jasa-jasanya. Setiap orang memiliki cara masing-masing untuk mendarmabaktikan diri kepada bangsanya. Tetapi sungguh tidak elok manakala kita untuk menaikkan jasa seseorang dengan cara “menutupi” jasa orang lain. Jika sejarah ditulis oleh pemenang, mengapa Rohana Kudus “hanya” diberi gelar Perintis Pers Indonesia dan Bintang Jasa Utama? Apakah Rohana Kudus bukan bagian dari pemenang? Apakah benar Kartini menjadi pahlawan karena memang sesuai tipe perempuan yang “diinginkan laki-laki”- nurut dan nrimo? Jika demikian, maka sesungguhnya Kartini adalah pahlawan bagi kaum laki-laki, bukan bagi kaum perempuan.

    

Salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun