Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Gagasan Ahok Membahayakan Keutuhan NKRI

3 Juni 2016   06:53 Diperbarui: 3 Juni 2016   12:30 6072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: herefordsaustralia.com.au

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melemparkan wacana yang sangat berbahaya bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni diperbolehkannya daerah, khusus DKI, untuk mengimpor bahan pangan. Ahok beralasan dengan adanya kewenangan impor bahan pangan tersebut, pemerintah daerah bisa menjaga ketersediaan bahan pangan bagi warganya dengan harga terjangkau. Jika wacana itu direalisasikan, maka sentra pangan di Indonesia dipastikan akan bergejolak karena kalah bersaing dengan barang-barang impor.

Ahok melemparkan wacana tersebut saat menggelar jumpa pers bersama Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, dan Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan Pomanto usai rapat koordinasi 'Peningkatan Daya Saing Kawasan Perkotaan sebagai Penggerak Ekonomi Regional' di Kompleks perkantorasn Bank Indonesia Jakarta Pusat, kemarin. Untuk memperkuat argumennya, Ahok mencontohkan soal impor daging sapi untuk menekan harga yang masih tetap setia bertengger di angka Rp 120 ribu/km. Jika Pemprov DKI diperbolehkan mengimpor daging sapi, maka Ahok menjamin harganya akan turun dratis sesuai harapan Presiden Joko Widodo yakni pada kisaran Rp 80 ribu/kg. Bahkan bagi pemegang kartu JakartaOne, mereka bisa membeli dengan harga Rp 39 ribu/kg.

“Jika diizinkan, kita (baca: Pemprov DKI) akan mengimpor daging sapi beku yang harganya lebih murah sehingga terjangkau. Kita persilahkan Bulog untuk beli dengan harga murah. Kita bisa kok,” cetus Ahok seperti dikutip di sini.

Sepintas permintaan itu wajar dan menguntungkan masyarakat DKI karena bisa membeli daging dengan harga murah. Namun pada saat bersamaan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari peternakan sapi seperti di Nusa Tenggara, Jawa Timur dan Lampung, akan menjerit. Mereka akan kesulitan menjual ternaknya. Sebab selama ini Jakarta merupakan pangsa pasar sapi terbesar. Bahkan menurut sumber di Kementerian Perdagangan, 80 persen daging impor hanya untuk memenuhi kebutuhan di Jakarta.

Sapi lokal pasti kalah bersaing karena harganya lebih mahal dibanding sapi dari Australia maupun Selandia Baru. Salah satu penyebabnya, sapi di Indonesia dipelihara dengan sistem ternak-, diberi pakan secara teratur, sehingga menimbulkan biaya tinggi (high cost). Sedang sapi-sapi di Australia dan Selandia Baru dilepas di padang penggembalaan (ranch) sehingga tidak perlu diberi pakan. Belum lagi tingginya biaya pengiriman dari daerah ke Jakarta. Biaya pengiriman sapi dari Jawa Timur ke Jakarta lebih mahal dibanding biaya pengiriman sapi dari Australia ke Jakarta.

Jika sapi yang tidak bisa masuk ke Jakarta karena kalah bersaing, dilepas ke daerah lain, kemungkinan juga tidak akan laku karena kebutuhan daging di daerah sangat rendah sehingga masih bisa dipenuhi oleh peternak setempat. Umumnya petani di Indonesia memelihara satu-dua ekor sapi atau kambing sebagai usaha sampingan. Minimnya kebutuhan daging dan tidak adanya target waktu jual bagi pemilik sapi- berbeda dengan peternak besar yang waktu jualnya sudah ditentukan untuk menekan biaya pakan, menjadikan harga daging sapi di daerah menggunakan acuan harga di Jakarta.       


Dalam kondisi persaingan usaha yang tidak sehat tersebut, pada akhirnya peternak sapi akan memilih menutup usahanya. Bagi kota-kota lain yang membutuhkan pasokan daging sapi lebih besar dari yang dihasilkan oleh peternak lokal, akan segera mengikuti langkah Jakarta untuk mengimpor sendiri dari Australia atau Selandia Baru, bahkan mungkin India yang merupakan eksportir daging kerbau air terbesar di dunia. Tekstur daging kerbau air mirip daging sapi- meski sedikit lebih kenyal sehingga tidak akan terlalu menjadi masalah bagi konsumen.

Itu baru contoh satu kasus. Mari kita lihat kasus lainnya, semisal beras. Tingginya harga beras hasil produksi petani Indonesia dibanding beras asal Vietnam dan Thailand akan menggoda daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk mengimpor beras dari kedua negara tersebut. Alasan yang paling populis adalah melindungi warganya untuk mendapatkan harga beras yang murah. Jika hal itu dilakukan oleh semua daerah non sentra beras, maka kelebihan stok di daerah-daerah penghasil beras tidak bisa dijual ke daerah lain karena kebutuhannya sudah dipenuhi oleh beras impor yang lebih murah. Apa yang terjadi kemudian? Harga gabah jatuh sehingga petani rugi. Tahun berikutnya petani tidak mau bercocok tanam lagi sehingga kebutuhan beras di daerah bekas lumbung padi itu pun akan diimpor dari luar negeri.

Masih banyak contoh yang lebih buruk jika daerah diberi hak untuk mengimpor kebutuhan pangannya. Negara kehilangan peran untuk melindungi rakyatnya dari persaingan global sehingga pertanian kita akan semakin hancur. Kehebatan jeruk Pontianak, apel Malang dan beberapa jenis buah lainnya tinggal kenangan karena saat ini yang membanjiri pasar dalam negeri adalah buah-buahan dari laur negeri dengan harga lebih murah dan kualitas lebih bagus.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena negara alpa untuk melindungi rakyatnya. Jika dulu negara hadir, melakukan proteksi sebelum diberlakukan perjanjian perdagangan bebas seperti sekarang, petani kita sudah kuat sehingga serbuan produk pertanian dari luar tidak akan berpengaruh. Di saat petani kita masih bekerja dengan biayai tinggi akibat mahalnya pupuk dan sarana produksi lainnya, pemerintah menghadirkan pesaing dari luar dengan menandatangani berbagai macam perjanjian perdagangan bebas.

Jika wacana Ahok menjadi kenyataan, bukan tidak mungkin suatu daerah akan menutup pasarnya dari produk pertanian daerah lain karena mereka akan memenuhi kebutuhannya dari impor. Semisalnya ada bupati memiliki kerabat pengimpor kedelai. Maka daerah tersebut akan menolak pasokan kedelai dari kabupaten lain karena kebutuhan di daerahnya akan dipenuhi dari hasil impor kedelai yang dimonopoli oleh saudara bupati tersebut. Jika sudah terjadi demikian, maka tidak ada gunanya lagi ikatan NKRI. Status daerah tidak lagi sebatas otonom namun telah menjelma menjadi negara bagian (federasi) bahkan negara dalam negara. Peran Bulog tidak lagi menampung hasil pertanian dalam rangka menstabilkan harga pasar, namun berubah menjadi keranjang besar hasil impor yang dilakukan oleh pemerintah daerah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun