Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Adu Sprint SBY-Jokowi Menuju Pilpres 2019

18 Oktober 2016   15:59 Diperbarui: 25 Oktober 2016   20:37 4379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sukses merusak  skenario Presiden Joko Widodo pada pilkada DKI Jakarta 2017.  Tidak butuh waktu, Jokowi langsung menggebrak dengan membeber fakta ketidakseriusan penanganan kasus HAM di era SBY sehingga dokumen hasil kerja Tim Pencari Fakta meninggalnya Munir Said Thalib, SH, raib. Kini keduanya telah berada di lintasan yang sama untuk memulai adu sprint menuju pemilihan presiden dan wakil presiden 2019.

Pilpres yang digelar bersamaan Pemilu Legislatif 2019 membuka era baru pesta demokrasi di Indonesia. Partai- politik peserta Pemilu 2019 akan langsung mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Syarat dan ketentuan mengenai batasan perolehan suara atau kursi di DPR bagi partai atau gabungan partai yang bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden masih digodok pemerintah sebelum diajukan ke DPR untuk dibahas dan disahkan menjadi undang-undang. Namun yang pasti, partai baru tidak bisa ikut mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden jika syaratnya tetap menggunakan basis perolehan suara pemilu sebelumnya.

Berbeda dengan pilpres sebelumnya di mana koalisi antar partai terbentuk setelah pileg sehingga cenderung pragmatis dan menyandera presiden karena harus mengakomodir kepentingan partai pendukung, koalisi partai untuk Pilpres 2019 akan terbentuk jauh sebelum pelaksanaan Pileg.

Namun sistem apapun  tetap saja memiliki kelemahan. Meski banyak pengamat meyakini model pileg dan pilpres serentak akan menguatkan sistem presidensial, tetapi hal sebaliknya bisa terjadi manakala koalisi partai pengusung pasangan presiden dan wakil presiden terpilih tidak memperoleh kursi mayoritas di DPR. Bukankah sangat mungkin ada partai yang saat ini mendapat kursi di DPR akan terlempar pada Pileg 2019 karena gagal memenuhi ambang batas perolehan suara di DPR (parliamentary threshold)?

Pertarungan menuju Pilpres sebenarnya baru akan dimulai setelah pemerintah menyerahkan RUU Pemilu dan Pilpres 2019 ke DPR. Adu kekuatan dan lobi-lobi politik untuk mengakomodir kepentingannya, bakal terjal karena bukan saja untuk mengamankan partainya- semisal partai gurem akan matian-matian mempertahankan ambang batas parlemen yang sekarang yakni sebesar 3,5 persen sementara partai besar berusaha menambah besaran ambang batas dengan tujuan untuk menjegal partai kecil masuk parlemen, para politisi di Senayan juga harus menghitung kekuatan bakal calon presiden dan bakal calo wakil presiden yang kelak akan diusung.  Jangan sampai muncul persyaratan yang pada akhirnya menjegal jagoannya.

Batasan minimal usia dan pendidikan hanyalah salah satu contoh dari beberapa materi yang akan alot untuk dibahas. Jika disyaratkan usia calon presiden atau wakil presiden minmal  45 tahun, jelas jagoan Cikeas Agus Harimurti Yudhoyono akan terjegal karena pada tahun 2019 usianya baru 40 tahun. Demikian juga jika batasan minimal pendidikannya Strata 2, kemungkinan Jokowi yang akan terlempar.


Namun meski Pilpres 2019 masih lama, ternyata saat ini Jokowi dan SBY sudah berada di track yang sama untuk memulai adu sprint. Adalah Pilkada DKI yang menjadi arenanya. Munculnya Agus Yudhoyono sebagai penantang petahana Basuki Tjahaja Purnama benar-benar di luar perkiraan. Jokowi yang sudah “melepas’ Anies Baswedan dengan harapan akan diusung partai penopang pemerintah yang menolak Ahok, ternyata mendapatkan fakta lain. PAN, PPP dan PKB justru membelot ke Cikeas untuk mengusung Agus Yudhoyono. Skenario Jokowi untuk menciptakan all istana final pun berantakan. Jokowi pun merasa ditelingkung oleh ketiga partai pendukungnya.

Ini merupakan tamparan serius. Sebab koalisi empat partai tersebut ditengarai merupakan koalisi semi permanen yang berdurasi hingga 2019. Gabungan koalisi Demokrat, PKB, PAN dan PPP memiliki kekuatan signifikan di DPR yakni 196 kursi atau sekitar 30 persen dari total 560 kursi DPR atau 33,35 persen dari total suara Pemilu 2014. Jika mengacu pada pilpres sebelumnya di mana syarat partai atau gabungan partai yang bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara pada pemilu 2014,maka secara matematis Koalisi Cikeas sudah bisa mengusung calon pada Pilpres 2019.

Meski sebagian besar politikus menganggap kontrak politik bukanlah kitab suci, sehingga sewaktu-waktu bisa diingkari, tetapi SBY sudah membuktikan kegigihannya dalam memelihara koalisi. Partai-partai penopang orde SBY nyaris tidak mampu keluar dari jerat koalisi bentukan SBY karena diberi kelonggaran untuk berbeda pendapat. PKS yang beberapa kali sempat mengambil sikap berbeda dengan  kebijakan pemerintah saat itu, tetap tidak berani keluar dari koalisi hingga masa kekuasaan SBY berakhir.

Tertinggal selangkah, memaksa Jokowi melakukan tackle keras.  Istana dibuat gaduh karena “hilangnya” dokumen hasil kerja TPF kematian Munir. Jokowi mengirim pesan kuat tentang buruknya penyelesaian kasus  HAM di masa SBY. Lebih tegas lagi, Jokowi ingin mempermalu SBY  yang mengingkari keppres yang ditandatanganinya sendiri.

Seperti diketahui, TPF yang bekerja menyelidiki dugaan keterlibatan sejumlah pihak atas tewasnya Munir dalam perjalanan ke Amsterdam, Belanda, dibentuk berdasarkan Keppres  Nomor 111 Tahun 2004, tertanggal 23 Desember 2004.  Sesuai Ketetapan Kesembilan, pemerintah yang akan mengumumkan hasil penyelidikan TPF kepada masyarakat. Tetapi meski hasil kerja TPF telah diserahkan kepada Presiden Yudhoyono, tanggal 23 Juni 2005, pemerintah tidak pernah mengumumkannya. Bahkan sampai SBY menyelesaikan periode kedua kekuasaannya pada tahun 2014, masyarakat tidak pernah mengetahui hasil kerja TPF. Belakangan Jokowi yang tengah mengejar SBY di arena balapan menuju Pilpres 2019 , melihat kejanggalan di mana laporan TPF ternyata tidak ada di Sekretariat Negara. Sambil menyerukan pentingnya penuntasan kasus Munir, Jokowi membuka aib SBY yang tidak mengumumkan hasil kerja TPF- yang bisa diartikan tidak pro terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM, sekaligus menyoroti buruknya tata kelola administrasi negara di era SBY sehingga dokumen dengan klasifikasi ” rahasia” bisa “hilang”. Siapa yang harus dimintai pertanggung-jawaban?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun