Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Nantang Debat, Luhut Lupakan 3 Hal Soal Utang

11 Juni 2020   09:08 Diperbarui: 11 Juni 2020   09:57 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Foto: KOMPAS.com/Ade Miranti Karunia Sari

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhur Binsar Pandjaitan menantang debat para pengkritik utang. Ekonom Rizal Ramli pun siap meladeni. Jika menggunakan data yang benar, Luhut dipastkan kalah.

Isu besar yang menjadi titik debat kubu pro dan kontra utang adalah rasio utang terhadap produk domestik bruto  (PDB). Untuk diketahui, per April 2020, total utang pemerintah sebesar Rp 5.172,48 triluan atau naik sekitar Rp 2.564 triliun dibanding tahun 2014 saat Jokowi menerima tongkat kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sekedar untuk catatan, di akhir kekuasaannya, SBY meninggalkan utang pemerintah sebesar Rp 2.608,8 triliun. Utang di masa pemerintahan SBY 2004-2014 mengalami kenaikan sekitar Rp 1.300 triliun. SBY mewarisi utang dari Presiden Megawati Soekarnoputri sebesar Rp 1.298 triliun.

Alasan pertama kubu pro seperti disampaikan Luhut, utang Indonesia masih dalam batas wajar. Rasio utang terhadap PDB berada di kisaran 31,78 persen, masih jauh dari batasan yang diperbolehkan oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan  Negara yakni 60 persen. Rasio utang Indonesia saat ini masih jauh dibanding rasio utang Singapura, AmerikaSerikat hingga Jepang.

Luhut mengklaim utang yang dilakukan pemerintahan Jokowi merupakan utang produktif. Mantan Komandan Group 3 Sandhi Yudha Kopassus ini meminta agar para ekonom memberikan informasi yang benar, tidak membodoh-bodohi masyarakat terkait utang pemerintah.

Bagi kubu kontra kenaikan utang hingga dua kali lipat dalam kurun waktu 6 tahun masa kekuasaan Jokowi (2014-2020) benar-benar dianggap bencana. Bahkan Rizal Ramli yang juga mantan Menko Kemaritiman, menuding utang yang dilakukan pemerintah saat ini sudah ugal-ugalan.    

Rizal menyebut rasio utang sebesar 60 persen dari PDB hanya berlaku bagi negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) di mana rasio pajaknya sudah mencapai 30 persen.

Sedang untuk negara berkembang seperti Indonesia di mana rasio pajak hanya di kisaran 11 persen maka rasio utang terhadap PDB ada di kisaran 22 persen. Rasio utang negara  berkembang lazimnya didasarkan pada kemampuan dalam membayar utang.  

Bukan hanya dari sisi rasio, pertumbuhan utang Indonesia pertahun yang rerata 20 persen juga sangat menguatirkan karena lebih cepat dari pertumbuhan PDB yang hanya 5 persen. Bahkan total kewajiban pembayaran pokok utang dan bunganya sudah lebih dari 25 persen dari APBN.  

Sebagai gambaran, kewajiban membayar utang pokok sebesar Rp 351 triliun sedang bunganya mencapai Rp 295 triliun sehingga totalnya mencapai Rp 646 triliun. Padahal APBN 2020 "hanya" sebesar 2.540,4 triliun. Setelah terjadi bencana nasional non alam alias pendemi Covid-19 Jokowi menerbitkan Keppres untuk mengubah APBN menjadi 2.720,1 triliun.

Namun jangan lupa, ada defisit anggaran sekitar Rp 1.028,6 triliun (6,72 persen) yang kemungkinan akan ditutup dengan penerbitan utang baru.
Jika debat antara Luhut sebagai wakil kubu pro utang dan Rizal Ramli di pihak sebaliknya dilakukan terbuka, bukan di ruangan tertutup Kemenko Kemaritiman, dipastikan Luhut  akan kalah. Meski mengaku sudah belajar dari para ekonom muda, namun sepertinya ada hal-hal yang luput dari perhatian Luhut.

Pertama, Luhut seolah mengingkari fakta bahwa saat debat capres di periode pertamanya Jokowi  berjanji akan membangun tanpa utang. Benar, Luhut tidak terbebani oleh pernyataan retoris Jokowi. Tetapi dari sisi ini dapat dipahami bahwa Jokowi sendiri secara tidak langsung mengakui jika utang untuk pembangunan bukan kebijakan yang tepat sehingga berjanji tidak akan melakukan.

Kedua, jika dikatakan utang produktif, mestinya Luhut bisa memaparkan adanya kenaikan signifikan dari pendapatan negara. Pertumbuhan utang harus dibarengi dengan penambahan pendapatan yang dihasilkan dari "hasil kerja" uang utang tersebut.

Jika kemudian dicontohkan pembangunan fisik, maka tinggal dikalkulasi apakah nilai bangunan fisik yang dikerjakan selama ini, termasuk jalan tol, setara dengan tingkat pertumbuhan  utang. Kita tidak bisa menggunakan kenaikan aset negara yang berkorelasi dengan penambahan utang seperti dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Sebab kenaikan aset dari Rp 1.538,18 triliun menjadi Rp 5.728,49 triliun merupakan hasil revaluasi aset yang dilakukan tahun 2017-2018 lalu. Jangan lupa angka aset Rp 1.500 triliun lebih itu sejak dari 2010. Artinya kenaikan aset tersebut sangat mungkin tidak hanya terjadi di masa Jokowi, namun juga SBY.

Kanaikan nilai aset negara juga tidak semata-mata karena penambahan barang (bangunan), namun juga karena kenaikan harga tanah akibat inflasi. Artinya jika dihitung dengan nilai tukar rupiah tahun 2010, belum tentu terjadi lonjakan kenaikan hingga 272 persen lebih. Bahkan andai tidak melakukan apa pun, dipastikan nilai aset saat ini akan meningkat di tahun 2025 mendatang.

Artinya perlu ada pemilahan antara penambahan aset dan kenaikan nilai aset. Jika dibedah lagi, maka Sri Mulyani, terutama Luhut, harus menghadirkan aset yang dibangun sejak 2014 seperti jalan tol, jembatan, dll lalu dihitung apakah  nilainya sesuai dengan total lonjakan utang. Jika setara maka sahih menyebut sebagai utang produktif, bukan konsumtif.

Ketiga, penghapusan berbagai macam subsidi, terutama migas, harus ikut dihitung sebagai bagian dari penambahan modal kerja pemerintah. Konon di era SBY, subsidi BBM mencapai Rp 400 triliun. Di era sekarang, subsidi dihilangkan sehingga menjadi tambahan  modal pemerintahan Jokowi. Apakah total nilai subsidi yang dihilangkan  dan penambahan utang setara dengan  hasil pembangunan pemerintahan Jokowi?

Jangan sampai pembangunan dari hasil penghapusan subsidi diaku dari hasil utang sehingga berani menyebut sebagai utang produktif.  Harus dibuka secara transparan.  

Berani, Jenderal Luhut?    

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun