Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sudah mengibarkan bendera sebagai tanda kesiapannya bertarung di Pilpres 2024. Bagaimana calon lain?
Kesiapan AHY diseru usai menghadiri rapat konsolidasi DPD Partai Demokrat NTT di Kupang. Meski mengaku safari politiknya ke daerah untuk mempersiapkan kader-kader Demokrat menghadapi Pilkada 2020, namun diyakini momen itu juga dimanfaatkan sebagai sarana "tebar pesona".
AHY yang digadang-gadang akan menjadi penerus dinasti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Demokrat, memang sudah sejak lama didengungkan sebagai calon presiden (capres). Meski langkah politik pertamanya, yakni di pentas Pilgub DKI 2017, gagal total, tetapi tidak lantas mengubur peluangnya untuk mengikuti kontestasi elektoral yang lebih tinggi.
Sejak keputusannya meninggalkan kesatuan TNI dengan pangkat terakhir Mayor, AHY sangat mungkin tengah dipersiapkan SBY untuk merebut jabatan politik tertinggi. Setelah gagal mendapat perahu di Pilpres 2019, sempat tersiar kabar AHY diplot masuk ke pemerintahan Joko Widodo -- Ma'ruf Amin. Sayangnya, tidak tercapai deal politik sehingga Demokrat tetap berada di luar kekuasaan meski tidak juga mendeklarasikan diri sebagai oposisi.
Keberanian AHY mengibarkan bendera menuju Pilpres 2024 tidak terlepas dari kondisi Partai Demokrat yang tidak memiliki figur lain untuk dimajukan. Meski mungkin ada kader Demokrat yang memiliki kemampuan dan elektabilitas di atas AHY, tetapi mereka akan "tahu diri" untuk tidak berkoar karena pakewuh dengan SBY. Â
Situasi demikian dimiliki PDI Perjuangan, Partai Golkar, bahkan Partai Gerindra sekali pun.
Memang Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memiliki hak prerogatif untuk menentukan calon yang akan didukung dan diusung dalam setiap kontestasi  elektoral, termasuk pilpres. Dalam banyak peristiwa, Megawati juga tidak peduli dengan aspirasi kader ketika menggunakan hak istimewanya tersebut.
Pilgub Jawa Tengah 2013, Pilgub DKI 2017 Â dan kini Pilwakot Solo hanya sedikit contoh bagaimana DPP PDIP (baca: Megawati) sangat tegas menggunakan kewenangan yang dimiliki.Â
Di Pilgub Jateng 2013, Megawati "rela" kehilangan Rutriningsih- salah satu kader terbaik PDIP yang saat itu menjabat Wakil Gubernur Jateng setelah sebelumnya menjabat Bupati Kebumen selama 2 periode, yang mbalelo karena PDIP menolak mengusungnya dan lebih memilih Ganjar Pranowo. Â
Demikian juga di Pilgub DKI Jakarta. Suara penolakan kader-kader PDIP terhadap Basuki Tjahaja Purnama dianggap angin lalu, termasuk hasil penjaringan yang diikuti tokoh-tokoh beken seperti Yusril Ihza Mahendra.
Kini hal yang sama sangat mungkin terjadi di Pilwakot Solo. Meski pasangan bakal calon Achmad Purnomo -- Teguh Prakosa mendapat dukungan seluruh pengurus anak cabang, termasuk Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo dan sesuai peraturan partai boleh langsung ditetapkan oleh DPR, Â tetapi jika melihat proses yang terjadi di DPP, sangat mungkin Megawati akan memilih Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo. Â