Tergantung sudut kepentingannya. Jika semata demi menegaskan kedaulatan, strategi demikian itu menguntungkan Indonesia.
Tetapi, jika pun "tidak berani" menghadapi kekuatan Jepang dan AS di Natuna, China memainkan kartu truf lain yakni utang yang dikaitkan dengan investasi seperti dalam proyek kereta cepat Jakarta - Bandung.Â
Meski bunyinya investasi, tetapi penyertaaan modal dari BUMN Indonesia mencapai 60 persen yang duitnya kemungkinan hasil pinjaman dari China.
Jika proyek tersebut kemudian mangkrak karena China menghentikan "investasi" maka BUMN (baca: Indonesia akan kelimpungan untuk melunasi pinjaman ke China Development Bank sehingga akan dihadapkan pada penyitaan aset sebagaimana terjadi di Pakistan dan negara-negara Afrika.
Sebagai sebuah pilihan dan memang harus ada ketegasan, kebijakan Presiden Jokowi layak didukung meski dengan beberapa catatan. Sebab kita justru lebih tertarik Presiden Jokowi "mengakui" ada pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh China dan memberikan perintah untuk mengusir kapal-kapal asing di Natuna.
Langkah persuasif seperti yang dikatakan Laksdya Yudho Margono sudah cukup karena hanya mengulur waktu sementara kekayaan laut Natuna terus dijarah.Â
Salam @yb