'I just wanted you to be happy, even if I couldn't be a part of your life.' - Robert (Sylvie's Love)
Membuka tahun 2021 tentu saja akan semakin menyenangkan apabila ditemani dengan sebuah tontonan yang manis dan hangat. Tentunya untuk menimbulkan efek ceria di awal tahun baru agar semakin segar dan semangat menjalani lembaran baru kehidupan.
Satu film yang kemudian penulis rekomendasikan untuk bisa disaksikan hari ini adalah Sylvie's Love. Sebuah film romantis produksi Amazon Studios yang ditayangkan secara eksklusif di platform streaming Amazon Prime Video.
Dibintangi oleh Tessa Thompson (Thor: Ragnarok, MIB: International), film ini tidak banyak menggunakan nama-nama beken di jajaran aktor-aktrisnya. Praktis hanya Eva Longoria yang paling terkenal selain Tessa. Itu pun perannya hanya sebagai supporting actress yang kemunculannya hanya sebentar.
Sementara aktor utama yang mendampingi Tessa Thompson adalah Nnamdi Asomugha yang dikenal lewat perannya dalam film Crown Heights dan Hello, My Name is Doris. Nnamdi mungkin belum seterkenal aktor kulit hitam lainnya, namun aktingnya pada film ini tentu saja patut menjadi sorotan.Â
Berlatar Harlem, New York di tahun 1950, Sylvie's Love membuka film dengan cerita pertemuan antara Sylvie Parker (Tessa Thompson) dan Robert Holloway (Nnamdi Asomugha) di depan pintu masuk panggung pertunjukkan Broadway. Keduanya nampak sudah mengenal satu sama lain namun baru bertemu kembali di hari itu.
Setelahnya kita diajak untuk masuk ke dalam cerita 5 tahun sebelum malam pertemuan tersebut. Cerita yang mengawali pertemuan antara Sylvie dan Robert di sebuah toko musik milik keluarga Sylvie.
Robert sang pemain saksofon langsung melihat cinta sejatinya kala pertama kali memandang Sylvie. Sylvie pun merasa ada ketertarikan yang sama namun sadar bahwa dirinya sudah bertunangan. Ditambah fakta bahwa Sylvie berasal dari keluarga terhormat yang tentu saja tak boleh sembarangan menerima cinta seorang lelaki.
Namun kekuatan cinta keduanya nyatanya tak bisa dibendung. Ciuman selamat malam di suatu malam sepulangnya mereka dari pertunjukkan grup band-nya Robert menjadi awal dari munculnya benih-benih cinta yang kemudian tumbuh makin subur dalam hati mereka.
Namun perjalanan cinta mereka nyatanya tak seindah kisah cinta dalam lagu-lagu jazz yang sering mereka dengarkan. Realita memaksa mereka untuk mencintai dengan cara yang berbeda.Â
Pengorbanan menjadi jalan yang harus ditempuh, dengan harapan dan kesetiaan menjadi penopang yang kokoh dalam perjalanan cinta mereka sekaligus perjuangan dalam pencapaian mimpi masing-masing.
Kisah Cinta Klasik dengan Kemasan Menarik
Menyaksikan Sylvie's Love sejatinya mengingatkan kita akan film-film romantis Hollywood klasik era Diana Ross hingga Barbra Streisand. Menyajikan dialog kuat serta chemistry memikat antar aktor utamanya.
Begitu juga chemistry antara Tessa dan Nnamdi yang terasa sangat natural. Akting mereka membuat kita percaya bahwa keduanya saling mencintai baik dalam masa penuh kebahagiaan walaupun masa-masa sulit yang harus dilalui keduanya.
Plot film ini pun linear tanpa twist berlebihan dan konfliknya pun tak terasa dibuat-buat. Semuanya terasa natural bahkan relevan dengan kondisi sosial yang kita kenal. Yang mana kemudian dikemas secara menarik dalam gambaran kehidupan sosial masyarakat kulit hitam di New York City era 50'an, lengkap dengan berbagai stereotip yang menyertainya.
Percintaan beda kelas sosial yang diangkat dalam film ini mungkin bagi beberapa orang terasa basi. Namun entah mengapa hal tersebut tak jadi masalah dalam film ini. Justru hal tersebut memperkuat konflik utama yang kelak muncul menjelang akhir film.
Apalagi kemudian film ini dipenuhi oleh komposisi musik klasik menarik arahan Fabrice Lecomte yang berhasil menghidupkan suasana musik Jazz Amerika era 50-60'an. Hangat dan terasa berkelas, tipikal musik yang langsung membuat kita ikut merasa masuk ke dalam suasana musim dingin Amerika.
Tentang Perjalanan Menggapai Mimpi
Satu hal yang memang menjadi inti dari cerita dalam film ini adalah tentang bagaimana usaha menggapai mimpi jika dilakukan dengan setia dan bersungguh-sungguh, pastilah akan membuahkan hasil. Meskipun terkadang dalam perjalanannya sering menjumpai kerikil tajam yang tak hanya menghambat laju namun juga kerap melukai kaki.
Sylvie dan Robert dipersatukan, dipisahkan, dan dipertemukan kembali karena impian masing-masing. Impian dalam menjalin cinta yang tak lekang oleh waktu serta impian dalam menjalani karir dan menghidupi passionnya masing-masing.
Hal lain yang penulis suka dari film ini adalah bagaimana cerita "kejatuhan" era jazz klasik dan munculnya era soul klasik juga turut dimasukkan. Era di mana musik Stevie Wonder bangkit lantas mendatangkan korban bagi para musisi jazz klasik yang dianggap musiknya sudah mati dan ketinggalan zaman. Dan Robert termasuk yang terdampak.
Perkembangan era yang lantas mengubah jalan hidup keduanya itulah yang kelak menjadi konflik yang menarik dalam kisah perjalanan cinta mereka.Â
Di sini cinta keduanya tak hanya diuji dalam hal kesetiaan dan pengorbanan saja namun juga kejujuran dan komitmen dari hati mereka masing-masing.
Menguji cinta sejati yang dimiliki Sylvie kepada Robert di tengah hantaman badai yang menerpa keduanya.
Penutup
Sylvie's Love tentu saja berhasil menjadi film yang cukup memuaskan dahaga para penikmat film yang rindu akan cerita cinta Hollywood klasik yang penuh dengan dialog manis, adegan romantis hangat, hingga konflik yang terasa dekat dengan realita kehidupan pasangan dewasa.
Bahwasanya menghidupkan cinta tak hanya soal mengucapkan manisnya kata-kata namun juga mampu beradaptasi dengan getirnya realita. Di samping juga tak boleh lelah untuk saling berjuang dan selalu percaya bahwasanya cinta sejati memang benar adanya.
Sylvie's Love penulis berikan skor 8/10.
Selamat Menonton. Selamat Tahun Baru. Salam Kompasiana.