Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Ternyata Memang Tidak Enak Menonton Film dengan Sensor Berlebihan di OTT Platform

5 Februari 2020   14:48 Diperbarui: 6 Februari 2020   16:07 3184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sensor | sumber:middleeasteye.net

Malam itu saya bergegas mandi dari perjalanan pulang kantor yang melelahkan untuk kemudian duduk di ruang tv, berharap menikmati film seru guna meringankan sedikit penat di kepala ini. 

Pindah berlangganan paket internet yang menjadi musuh besar dari Netflix, lantas membuat saya mencoba memilih alternatif Over The Top (OTT) platform untuk dinikmati di layar televisi malam itu.

Pilihan pun pada akhirnya jatuh kepada aplikasi Catchplay+ yang kebetulan aksesnya gratis karena masuk ke dalam bagian dari biaya berlangganan paket internet yang saya gunakan. 

Setelah sempat bingung memilih film apa untuk ditonton, pilihan pun pada akhirnya jatuh kepada film Monster Ball yang dibintangi oleh Billie Joe Thornton dan Halle Berry. Lumayan buat rewatch pikir saya.

Kode parental control kemudian saya masukkan sebagai syarat untuk menyaksikan film yang diberikan rating 17+ tersebut. Saya pun kaget ketika kemudian mengetahui bahwa film tersebut kemudian mendapatkan sensor yang cukup kasar berupa blur di bagian tubuh tertentu, juga pada saat adegan sex berlangsung. 

Padahal kode parental control sudah disediakan untuk mengamankan film tersebut dari jangkauan anak-anak pikir saya.

Saya yang terbiasa menikmati film-film di platform Netflix secara utuh tanpa sensor pun lantas kaget dan penasaran dengan apa yang baru saja saya lihat. Tapi oke lah kalau adegan syur di film Monster Ball disensor karena terlalu panas, saya masih bisa terima.

Fossbytes.com
Fossbytes.com

Maka saya pun kemudian mencoba melakukan observasi pada film-film lainnya yang sekiranya memiliki tema atau adegan yang mengandung ketelanjangan ataupun adegan dewasa lainnya. Bahkan tak hanya pada Catchplay, layanan streaming Vidio dan Hooq pun kemudian saya coba sampling mengenai sensor tersebut.

Hasilnya pun sama, platform OTT tersebut nyatanya memang tidak main-main memberlakukan sensornya meskipun kemudian sangat berlebihan menurut saya pribadi.

Gangs of New York, The Row, Oldboy versi Hollywood, The Wailing, hingga Five Feet Apart menjadi contoh film-film yang tak luput untuk mendapatkan sensor "lebay" karena dianggap menampilkan belahan dada dan bokong wanita serta adegan berdarah seperti pada The Wailing.

"Eh, tapi Gangs of New York kan film dalam balutan sejarah, kok bisa di sensor?"

Ya karena pakaian wanita Amerika zaman itu yang notabene belahan dadanya sedikit terlihat mungkin yang jadi alasan. Padahal model pakaian pun bagian dari sejarah. 

Hmm..alasannya klasik yha~

Ternyata Tidak Enak

sumber: diginomica.com
sumber: diginomica.com
Kisruh PT. Telkom, Kominfo, dan Netflix yang masih terus berlanjut dari tahun 2016 hingga kini sejatinya mengerucut kepada 2 permasalahan utama yaitu sensor dan pembatasan konten yang beredar di Indonesia. 

Dengan isu pajak kemudian menjadi isu pelengkap dan penguat untuk semakin "melemahkan" Netflix yang kini mulai digandrungi masyarakat Indonesia.

Nah, mengenai sensor sampai saat ini memang belum berlaku di platform Netflix. Namun setidaknya kita bisa merasakan dahulu bagaimana efek sensor tersebut terhadap kenikmatan menonton secara utuh lewat OTT platform yang disebutkan sebelumnya yaitu Hooq, Cathcplay+, dan Vidio. Dan ternyata memang tidak enak menonton dengan sensor lebay seperti itu.

Selama ini saya pribadi masih memberikan toleransi terhadap sensor berupa blur di bagian tubuh tertentu apabila tayangan tersebut tampil di stasiun tv reguler ataupun jaringan tv cable yang saat ini penetrasinya sudah semakin luas dan menjangkau banyak golongan. 

Hanya saja, hal ini pun sejatinya sudah cukup mengganggu ketika beberapa kali masuk ke ranah bioskop. Dan semakin mengganggu lagi ketika pada akhirnya turut masuk ke layanan streaming.

Padahal seharusnya layanan streaming menjadi platform paling pas untuk menikmati tayangan tanpa sensor. Karena selain kita sudah membayar biaya berlangganan, kita pun harus memiliki koneksi internet yang memadai untuk menikmati tayangannya dengan nyaman. 

Dengan dua hal ini saja seharusnya penikmatnya sudah terfilter dengan sendirinya. Karena artinya berlangganan OTT Platform sama saja harus mengeluarkan kocek sedikit lebih banyak.

Apalagi kemudian ditambah dengan fitur parental control seperti pada Netflix dan Catchplay+ yang harus memasukkan kode tertentu untuk menikmati film dengan rating dewasa, seharusnya sudah cukup aman terkait tambahan filtering aksesnya.

Lantas, kenapa harus diblur kalau untuk mengaksesnya saja si pengguna harus melewati tahapan "filtering" yang cukup banyak itu?

Sensor Berlebihan yang Mengganggu Esensi Film

Bisa jadi, adegan masturbasi film Lust Stories ini di banned juga jika gagal paham terhadap konteksnya | sumber: vice.com
Bisa jadi, adegan masturbasi film Lust Stories ini di banned juga jika gagal paham terhadap konteksnya | sumber: vice.com
Sejatinya sah-sah saja sensor diberlakukan pada sebuah karya seni jika hal tersebut dianggap terlalu vulgar menampilkan suatu hal dalam ruang publik yang bisa diakses dengan bebas. 

Hanya saja, dalam kasus OTT platform, ruang tersebut tidaklah seluas stasiun tv reguler dan tv cable karena banyaknya "persyaratan" yang harus dilalui termasuk membayar biaya berlangganan yang tidak sedikit, sebelum bisa menikmati konten yang disediakan.

Selayaknya sensor pada lagu-lagu barat yang sangat mengganggu kala diputar di radio, sensor pada film pun sudah jelas akan mengganggu esensi seni pada film itu sendiri. Karena biar bagaimanapun, menikmati film secara utuh adalah cara terbaik dari menonton sebuah film.

Jikapun ada adegan sex, ketelanjangan, simbolisme tertentu, ataupun adegan penuh kekerasan di dalamnya, sebaiknya memang harus dipahami dulu konteks daripada film tersebut. Karena tak mungkin hal-hal tersebut dimunculkan dalam film tanpa adanya alasan yang jelas.

Bisa jadi adegan sex, jika tidak terlalu berlebihan, memang dibutuhkan untuk menunjukkan relationship yang lebih dalam antar tokoh utamanya. Yang mana hal tersebut mungkin saja tak cukup ditampilkan oleh sekadar adegan ciuman misalnya.

Sedikit unsur ketelanjangan dan unsur kekerasan terkadang memang dibutuhkan untuk menunjukkan kondisi real terhadap suatu kejadian yang ingin diceritakan. 

Misalnya penampilan para lifeguard di film Baywatch ataupun para penari striptease di film Hustlers. Atau adegan kasar dan brutal untuk menunjukkan kengerian sebuah tokoh fiksi yang keji semisal John Wick atau Rama The Raid misalnya.

Semua sah-sah saja selagi ada dalam koridor penceritaan, latar, dan pesan yang ingin disampaikan dari film tersebut. Karena akan menjadi tidak relevan jika hal tersebut tidak diwujudkan ke dalam bagian penceritaan.

Apalagi jika kasusnya seperti film Gangs of New York yang blurnya hanya karena pakaian wanita yang sejatinya memang seperti itu adanya di tahun latar penceritaan film tersebut. 

Jika seperti itu, maka kemben atau berbagai pakaian adat masyarakat Indonesia lainnya yang sedikit terbuka juga berpotensi untuk di blur kah?

Lantas, harus bagaimana?

Perkuat Sistem Rating dan Parental Control

Contoh Parental Control Netflix| sumber: howtogeek.com
Contoh Parental Control Netflix| sumber: howtogeek.com
Dikutip dari laman observer.com, kehadiran MPAA (Motion Picture Association of America) di Amerika yang muncul di tahun 1922 dengan nama MPPDA (Motion Picture Producers and Distributors of America), menjadikan lembaga swasta tersebut muncul untuk memberikan solusi baru terkait sensor pada film yang digaungkan pemerintah Amerika Serikat pada masa itu. 

Pasalnya sensor dirasa tak relevan lagi seiring perkembangan masif industri film secara global.

Maka memperketat rating melalui pembentukan lembaga rating dirasa hal yang paling relevan dilakukan untuk saat ini, dengan sensor tetap dilakukan secara self-censorship dari para pembuat film itu sendiri terlebih dahulu. 

Dengan adanya sistem rating yang kuat, maka isi dari konten menjadi tanggung jawab si pembuat film dan perusahaan yang menaunginya. Sementara rating berperan untuk menentukan seberapa luas film itu bisa didistribusikan sekaligus menjadi guidance bagi para pengusaha bioskop untuk memperketat para pembeli tiket film tersebut.

Kalau ingin filmnya didistribusikan secara luas, maka buatlah film yang "aman". Jika idealis dan memang harus bermuatan dewasa, maka siap-siap jumlah layar dan pendistribusiannya dipangkas jauh. Win-win solution bukan?

Film tidak terpotong atau di blur secara brutal, penonton pun lantas bisa terfilter dengan sendirinya apabila antara lembaga rating dan penyedia bioskop memiliki komunikasi kerja sama yang baik.

Logo MPAA |Sumber: capitalresearch.org
Logo MPAA |Sumber: capitalresearch.org
Nah, dengan kuatnya sistem rating maka ketika film yang sudah tayang di bioskop tersebut muncul ke OTT platform, pengklasifikasian pun akan semakin mudah. 

Tinggal para penyedia platform tersebut ramai-ramai membentuk sistem terbaik agar fitur parental control bisa dimanfaatkan dengan mudah dan maksimal. Terutama oleh para orang tua yang masih memiliki anak kecil di rumah.

Karena biar bagaimanapun, tiap tontonan yang dipilih menjadi tanggung jawab pribadi dari si penonton. Dan tentunya tanggung jawab orangtua juga untuk menjaga anak-anak dari tontonan yang tidak sesuai dengan usianya.

Percayalah, semakin sensor diberlakukan secara brutal, keinginan penonton untuk mendapatkan versi tanpa sensor melalui situs ilegal akan semakin besar karena diliputi rasa penasaran. Apalagi jika film tersebut adalah film blockbuster ataupun film yang masuk ke dalam nominasi penghargaan.

Tapi bukankah situs ilegal sudah diberantas oleh pemerintah? Mmmh, saya pribadi sih nggak yakin, heuheuheu..

Lebih Baik di Takedown daripada di Blur

Sumber: livemint.com
Sumber: livemint.com
Nah, jika memang tetap tidak bisa diberlakukan sistem rating yang optimal dan pemerintah beserta penyedia layanan streaming bersikukuh dengan sensor, maka opsi terakhir yang paling baik adalah menurunkan atau take down film secara keseluruhan. Agar tidak terjadi rasa penasaran dan kesal dari para penonton akibat film yang tidak ditayangkan secara optimal.

Karena buat apa kita menyaksikan sebuah film namun hampir di sepanjang film tidak bisa menikmati filmnya karena tertutup atau terpotong oleh sensor yang berlebihan bukan? Heuheuehu..

Penutup

TheJakartaPost.com
TheJakartaPost.com
Tentu ini merupakan tulisan subjektif dari penulis sekaligus tulisan unek-unek atas apa yang penulis alami ketika menonton film di OTT platform. Tidak, penulis tentu tidak mendukung konten vulgar atau apapun yang berhubungan dengan kejahatan mengerikan yang tampil melalui film.

Hanya saja, selayaknya sebuah karya yang harus dinikmati secara utuh, film pun sudah selayaknya demikian. Karena adegan sex, munculnya ketelanjangan, simbolisme tertentu, ataupun aksi penuh kekerasan yang muncul, selagi masih dalam konteks pelengkap dan pendukung kisah utama, selayaknya tak perlu di sensor secara berlebihan. Kecuali 4 hal tersebut muncul tanpa konteks seiring dengan filmnya yang mungkin berkualitas (maaf) sampah.

Dan selayaknya sebuah produk premium yang membutuhkan biaya tertentu untuk menikmatinya, memang sebaiknya si penyedia jasa fokus memberikan layanan terbaiknya dalam sisi fitur baik itu kualitas gambar, kualitas subtitle, pustaka tontonan dan fitur keamanan memadai, bukan malah justru mengacak-acak kontennya dengan sensor yang berlebihan.

Karena percayalah, ternyata memang tidak enak menonton film dengan sensor berlebih di OTT platform yang sudah kita bayar dengan harapan mendapatkan sajian yang lebih baik dan berkelas daripada sajian free to air.

Kalau menurut teman-teman kompasianer bagaimana?

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun