Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah di Atas Bukit di Bawah Pohon

8 September 2020   13:47 Diperbarui: 9 September 2020   13:25 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kehidupan alam kampung masih membekas tegas dalam ingatanku. Suasana alamnya asri bebas dari kontaminasi polusi. Pohon-pohonnya lebat rindang mengayomi. Desir aliran air sungai yang bersih dan jernih memercik di bebatuan. Bunyi percikan yang menghasilkan irama alam yang menyejukkan.

Burung-burung berkicau riang menyuarakan kebebasan. Mereka bergirang dengan beterbangan berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya. Dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya.

Sepoi angin yang bertiup di sela ranting-ranting menepuk menggesek dedaunan. Ia menyampaikan pesan kedamaian. Sebuah pesan alam pedesaan yang penuh kesahajaan. Sungguh menyenangkan. Menyejukkan.

Aku masih ingat ketika ikut menggembala lembu sapi. Kami berjalan tanpa alas kaki di belakang iring-iringan kawanan ternak itu. Kami berjalan melintasi sungai dan rawa. Mendaki gunung tinggi atau lembah terjal. Semua itu kami lakukan untuk mencarikan tempat merumput yang nyaman di padang hijau.

Setelah mereka ada di padang hijau, mereka merumput. Lalu dari kejauhan di bawah sombar (bayangan) pohon kami mengawasi mereka. Kami mengawasi sambil menikmati jagung rebus pengganjal perut.

Jagung rebus atau yang biasa di kampung kami sebut dengan papulek. Papulek ini sudah kami siapkan dari rumah. Kami menyimpan mendistribusikannya di kantong-kantong pelastik dan kami masing-masing membawa satu. Cara sederhana agar tidak memberatkan kami.  

Papulek-papulek itu kami makan pada waktu-waktu tertentu. Yaitu pada sekitaran jam makan siang. Karena itu adalah sangu untuk makan siang kami. Jadi kami berkomitmen untuk makan bersama di waktu yang sama pula.

Di kala itu kami tidak membawa air untuk minum. Maka apakala dahaga, kami hanya mengusir rasa haus itu dengan air dari sungai atau susu dari sapi. Dan kami tidak khawatir akan persediaan minum sesudah makan. Biasanya kami melahap papulek hingga tuntas baru kami minum.

Sebagai pelenyap dahaga, kami minum susu murni perahan langsung dari sapi yang kami gembalakan. Susu yang kami dapat kemudian ditampung di tempurung kelapa. Tempurung yang sudah rampung dibersihrapikan dan tidak bocor. Wadah batok kelapa yang mampu menampung susu untuk di-glek.

Sesudah mewadahi susu di batok kelapa dan membawanya ke mulut, aku menenggaknya sampai tetes penghabisan. Dan menyudahinya dengan menggerakkan lidah ke luar melingkari seluruh permukaan bibir. Lalu mendesah: "Heemm, sedaaap!"

Selain menggembalakan lembu sapi, aku juga sering ikut membajak sawah. Masih juga segar di kepalaku saat-saat membajak sawah. Atau luruk menurut istilah yang lazim diucapkan orang-orang di kampungku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun