Umar Bakrie memacu sepedanya ngebut sampai terkentut-kentut karena takut. Aku tidak sampai kentut. Kecuali kalau lagi masuk angin dan mulas. Aku hanya menggelinding santai. Tak ada yang perlu kutakuti. Aman!
Lagu ini menggambarkan hidupku yang sesungguhnya. Setiap hari aku pergi pulang sekolah dan rumah naik sepeda. Aku mengayuh sepeda memenuhi menghiasi jalan di kota modern. Dandananku selalu tetap. Sama. Â
Topi menancap di kepala, kaos plus jaket dan training spak (celana) menutupi tubuh. Warna pakaianku tak jarang saling bertabrakan. Aku tak menghiraukan. Sepatu kets serta 'asesoris' tas yang menyelempang menggelantung menempel di punggung.
Aku mengayuh sepeda melalui jalan-jalan setapak di kampung tempatku mengontrak rumah. Aku melintasi jalan-jalan utama di jantung kota modern Tangerang, Banten. Berangkat pagi dan pulang sore sambil bersiulkan nada-nada riang nan pilu lagu Umar Bakrie.
Sekembali dari 'perantauan' selama tiga bulan di Kupang aku menganggur total. Demikian juga istriku. Untuk kembali mengajar di sekolah yang dahulu, tak mungkin. Terlanjur malu.
Jadilah kami berdua para sarjana pengangguran dengan tanggungan dua jiwa lainnya. Untunglah rumah baru terjual sepulangnya kami. Dengan uang hasil penjualan rumah itu kami bisa bertahan hidup hingga aku mendapatkan pekerjaan di Tangerang, Banten.
Awalnya kami tinggal di Bojong-Rawabuaya Cengkareng, Jakarta Barat. Tetapi karena jarak tempuh antara rumah dan sekolah tempatku mengajar terlalu jauh, aku pindah. Aku memboyong keluargaku dari Bojong ke lokasi yang lebih dekat dengan 'ladangku.'
Faktor utama yang mendorongku untuk pindah alamat karena: Ongkos, waktu, dan tenaga. Semua faktor itu cukup berpengaruh pada kesehatanku. Untunglah istriku bijaksana dan mau mengerti.
Sudah dekat dengan sekolah bukan berarti ekonomiku makin mantap dan berlebihan. Tidak. Justru untuk pemulihan kondisi ekonomilah aku menunggang menggunakan sepeda. Satu-satunya kendaraan termahal pemberian istriku dari uang hasil jual rumah.
Berharap dengan mengendarai kereta angin ini ekonomiku kembali bangkit. Bisa kembali pulih. Sehat seperti sedia kala. Â Aku Berusaha menyisihkan sedikit demi sedikit setiap bulannya dari uang transporku. Darinya aku dan keluarga kecilku bisa bertahan hidup.
Aku terpaksa harus mengalahkan rasa maluku. Sekalipun harus melewati rumah-rumah mewah di kawasan elit Modernland. Kawasan yang sebagian besar penghuninya adalah murid-muridku.