Mohon tunggu...
Yolis Djami
Yolis Djami Mohon Tunggu... Dosen - Foto pribadi

Tilong, Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Berburu Bersama Opa

16 Juli 2020   08:29 Diperbarui: 17 Juli 2020   08:00 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Selimut adalah kain tenun Timor yang dibuat dengan peralatan tradisional. Kain tenun Timor, khususnya di kampungku dan sekitarnya, biasanya memiliki corak yang cerah. Terdiri dari tiga lembar yang dijahit menjadi satu. Lembaran yang di kiri-kanannya bercorak dominan merah. Sedangkan lembaran yang di tengah berwarna putih polos. Dalam bahasa Timor disebut tais.

Selain tais ada satu lagi yang tak pernah ketinggalan. Ini selalu dikenakannya juga bila bepergian yaitu destar. Destar dikenakan di kepala. Caranya dengan melilitkan sebuah kain kecil atau selendang di kepala sehingga tampaknya seperti blankon bagi orang Jawa.

Pak Domi, tamu Opa ini, yang memegang kemudi. Opa duduk di sampingnya. Bruno berjongkok di kaki Opa. Aku dan sopir Pak Domi menempati jok di belakang. Sopirnya tidak diperkenankan mengemudi karena untuk menghormati Opa.

Kami menempuh jarak sekitar tujuh kilometer dari rumah ke arah matahari terbit. Kondisi jalannya berbatu-batu dan menanjak. Melintasi kali Noekele yang lebar dan tak ada jembatannya. Juga melewati kampung Kuanusapi dan Besle'u. Akhirnya kami berhenti di Kuanheum.

Mobil diparkir. Kami semua turun. Opa dan Pak Domi yang anggota polisi itu masuk hutan dengan memanggul senjata masing-masing. "Kalian tunggu di sini," seru Opa sebelum berlalu.

"Kus, jaga mobil." Perintah Pak Domi pada Om Markus, sopirnya. Dengan naluri 'militer' dan 'radar' pelacak yang ia miliki Bruno menyusuri jalan setapak di antara pohon-pohon kotok ayam dan perdu lainnya yang tumbuh subur. Bagai seorang pemandu ia memimpin iring-iringan itu menuju hutan, lokasi sarang rusa.

Untuk mengusir kejenuhan, Om Markus mengajariku cara bertahan hidup di hutan. Kebetulan di tepi jalan banyak tumbuh labu kuning. Buahnya yang banyak pula. Om Kus mencari-cari melacak mana yang layak dipetik.

Ia memetik satu buah yang lumayan besar. Ia membelah dan mengeluarkan isinya. Kemudian ia mengajakku mencari dan mengumpulkan kayu kering sebesar lengan. Kayu-kayu yang sudah kami kumpul itu dibakar sampai menjadi bara.

Lalu bara yang memerah dimasukkan ke dalam buah labu yang sudah dibersihkan itu kemudian ditutup kembali. Bagian luarnya juga dipanggang hingga matang. "Kalau kulitnya sudah layu dan berwarna coklat berarti sudah matang. Siap disantap." Katanya menjelaskan secara rinci.

Maka kamipun makan siang dengan menu utamanya labu guling/panggang. Sesudahnya kami minum tuak (nira). Kami memperoleh tuak secara cuma-cuma dari masyarakat setempat. 

Biar aku uraikan sedikit mengenai tuak agar pembaca ada gambaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun