Mohon tunggu...
Yolaa Miranda
Yolaa Miranda Mohon Tunggu... mahasiswa

belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pemikiran Agus Hermanto Tentang:Larangan Perkawinan Persektif fikih dan Relevansi nya Dengan Hukum Perkawinan Di Indonesia

27 Maret 2025   19:37 Diperbarui: 27 Maret 2025   19:37 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : Social Media Agus Hermanto)

LARANGAN PERKAWINAN PERSPEKTIF FIKIH  DAN RELEVANSINYA DENGAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA


Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi Tuhan dengan kecenderungan seks (libido seksualitas). Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan lakilaki memiliki daya tarik satu sama lainnya untuk hidup bersama. Dalam  Ilmu Alam, dikemukakan bahwa segala sesuatu terdiri dari dua pasangan.
Air yang kita minum (terdiri dari oksigen dan hydrogen), listrik, ada positif dan negatifnya. Islam adalah agama yang fitrah,2 Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat manusia.

Perkawinan mempunyai tujuan yang bersifat jangka panjang, sebagaimana keinginan dari manusia itu sendiri dalam rangka membina kehidupan yang rukun, tenteram dan bahagia dalam suasana cinta kasih dari dua jenis mahluk ciptaan Allah SWT, yaitu terpeliharanya lima aspek alMaqshid al-Khamsah atau al-Maqsid al-Syar'ah, yaitu memelihara (1) agama (hifz al-dn), (2) jiwa (hifz al-nafs), (3) akal (hifz al-'aql), (4) keturunan (hifz al-nasb), dan (5) harta (hifz al-ml), yang (kemudian) disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya.  Bahkan menurur Azhar Basyar, seseorang dilarang untuk membujang.

Seperti halnya pembatalan
perkawinan, larangan perkawinan ternyata membawa konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah pembatalan perkawinan, dalam kaitannya dengan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai pada derajat tertentu adalah suatu hal yang bisa mengancam kelangsungan perkawinannya. Maka artikel Hermanto mengkaji tentang Larangan Perkawinan Perspektif Fikih dan Relevansinya dengan Peraturan Hukum Perkawinan di Indonesia.
Indonesia adalah negara yang memiliki ragam suku bangsa dan aneka budayanya. Ketika Islam datang dan menyebar di negeri ini, ajaran Islam telah mengalami penyesuaian dengan budaya lokal, sehingga membentuk karakteristik Islam tersendiri. Indonesia adalah negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, terwujudnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengalami proses sejarah panjang yang melatar belakanginya.

menurut opini Dr. Agus Hermanto, MHI yang terdapat dalam jurnal nya,
Agus Hermanto berpendapat bahwa larangan perkawinan dalam perspektif fikih mencakup dua kategori utama:
Larangan Abadi (Ta'bid): Ini adalah larangan perkawinan yang berlaku selamanya karena hubungan nasab (keturunan), hubungan perkawinan (semenda), dan hubungan persusuan.
Larangan Sementara (Gairu Ta'bid): Ini adalah larangan perkawinan yang berlaku untuk jangka waktu tertentu karena faktor-faktor seperti jumlah (bilangan), mengumpulkan (peristrian lebih dari yang diizinkan), status kehambaan, perbedaan agama (kafir), ihram (dalam ibadah haji atau umrah), iddah (masa menunggu setelah perceraian atau kematian suami), talak tiga (perceraian yang telah mencapai tiga kali), dan peristrian (sudah memiliki istri).

Lebih lanjut, Agus Hermanto menyoroti beberapa poin penting:
Relevansi dengan Hukum Perkawinan di Indonesia: Undang-Undang Perkawinan di Indonesia merupakan hasil legislasi hukum normatif (fikih). Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan, seperti tidak diaturnya larangan menikahi budak.
Kontroversi Pasal 40 huruf c: Pasal ini secara tegas melarang laki-laki Muslim menikahi wanita yang tidak beragama Islam. Dalam fikih, non-Muslim dibedakan menjadi Musyrik/Kafir (yang haram dinikahi) dan Ahli Kitab (Nasrani/Yahudi) yang diperbolehkan untuk dinikahi oleh laki-laki Muslim.
Relevansi Nasab, Persusuan, dan Perkawinan (Musaharah): Larangan perkawinan karena nasab, persusuan, dan perkawinan (musaharah) relevan dengan UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Namun, UU Perkawinan dan KHI tidak membahas secara detail tentang jumlah persusuan yang menyebabkan keharaman, tetapi membahas secara umum tentang keharaman perkawinan karena nasab.

Perbedaan Pendapat Ulama: Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai beberapa hal terkait larangan perkawinan, seperti masalah zina dan sumpah li'an, serta batasan-batasan dalam hubungan persusuan.

Secara keseluruhan, Agus Hermanto beropini bahwa hukum perkawinan di Indonesia sebagian besar relevan dengan prinsip-prinsip fikih, meskipun terdapat beberapa perbedaan dan interpretasi yang perlu diperhatikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun