Mobil berhenti di pinggir kota. "Sudah sampai," kata Pak Sopir. "Atambua. Perbatasan."
Aku turun dengan langkah pelan. Langit Atambua berwarna tembaga, dan angin membawa bau tanah, daun kering, dan sesuatu yang lebih tua dari sejarah. Di seberang jalan, berdiri sebuah rumah sederhana. Di berandanya, duduk seorang perempuan tua dengan rambut perak dan mata yang tajam seperti mata burung alap-alap.
Aku mendekat, memperlihatkan surat itu. Ia membacanya perlahan, lalu mengangguk.
"Kau cucunya," katanya. "Dia sudah lama pergi. Tapi dia selalu percaya kau akan datang, mencari jejak yang sempat kau lupakan."
Aku tak menjawab. Hanya duduk di sampingnya, menatap matahari yang perlahan tenggelam di balik perbukitan. Di antara senyap sore dan desir angin perbatasan, aku merasa seperti baru saja pulang---bukan ke rumah, tapi ke bagian dari diriku yang selama ini hilang.
---
Ada perjalanan yang membawamu ke tempat baru. Tapi ada pula perjalanan yang membawamu kembali ke dalam dirimu sendiri. Dan perjalanan ke Atambua adalah keduanya---sebuah perjalanan yang memeluk tanah, sejarah, dan sunyi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI