Mohon tunggu...
Yohanes Djanur
Yohanes Djanur Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Penulis Lepas. Menyukai sastra dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Budaya Politik Pemilih Milenial Menuju Momentum Pemilu 2024

10 Juni 2021   15:14 Diperbarui: 10 Juni 2021   15:27 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


Politik sebagai kendaraan demokrasi tentu tak lepas dari pengaruh perkembangan zaman. Hal ini dikarenakan politik merupakan suatu media komunikasi sekaligus media kompromi di dalam merumuskan kepentingan-kepentingan yang menyangkut hajat hidup warga negara di dalam suatu pemerintahan negara.

Realitas historis perkembangan politik Indonesia dari masa ke masa cukup beragam dan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Mulai dari politik masa penjajahan sampai pada era reformasi seperti sekarang ini.

Di dalam konteks politik era reformasi, sudut pandang, nilai-nilai, serta komunikasi politik kian hari semakin mengalami tranformasi seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup pesat di awal abad ke 21 ini. Perkembangan itu memberi suatu ruang gerak baru terhadap pola komunikasi, nilai-nilai serta sudut pandang baru tentang politik. Perubahaan inilah yang melahirkan suatu kebiasaan atau budaya politik baru, yaitu budaya politik milenial.

Tren milenial sebenarnya dialamatkan kepada kaum muda yang lahir di tahun 1980-an, pertengahan tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an. Revolusi mental dan cara berpikir generasi y inilah merupakan akar bagimana budaya politik milenial tumbuh dan berkembang dalam ruang komunikasi dan informasi yang serba cepat dan terbuka. 

Budaya politik milenial tercermin pada perilaku dan gaya komunikasi politik orang-orang muda saat ini, di mana keterbukaan informasi menjadi salah satu ciri khas di dalam membangun retorika komunikasi, baik di dalam diskursus maupun dialektika di dalam kerangka dan sistem perpolitikan itu sendiri.
Hal ini terjadi seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat memungkinkan terjalinnya komunikasi dan kompromi politik secara terbuka, baik melalui media berita, dan juga jejaring media sosial, seperti youtube, Facebook, Twitter, dan lain sebaginya.

Di dalam konteks politik menuju pemilu 2024, setiap milenials tentu memiliki preferensi politiknya masing-masing berdasarkan informasi dan keterbukaan komunikasi politik itu sendiri. Untuk itu, media berita maupun media sosial mempunyai peran yang sangat penting di dalam mentransmisikan, menilai, mengevaluasi serta mengontrol laju dan bobot dari informasi tersebut sehingga tidak menimbulkan pembiasan politik di akar rumput. Sehingga masyarakat terlebih khusus kaum milenials mengerti betul bagaimana politik itu bergulir dengan segala dinamika dan kemungkinan yang terjadi menuju pemilihan umum 2024 nanti.

Di lain sisi, partai politik sebagai institusi politik, yang oleh undang-undang diberi mandat untuk menyelenggarakan proses pembinaan para calon pemimpin dan berhak mengajukan calon pemimpin pada pemilu 2024 nanti,  tentu harus memahami pola komunikasi dan pelbagai pemasalahan yang ada di lingkungan pemilih milenial, sehingga aspirasi dan kepentingan mereka terakomodasi dengan baik melalui visi misi politik serta kebijakan-kebijakan partai.

 Selain itu, partai politik berusaha untuk menghindari praktek politik kotor dengan tidak memainkan isu-isu terkait politik identitas, money politik, kampanye hitam dan sederet aksi kecurangan lainnya. Sebab, kenyataannya bahwa isu-isu demikian sudah tidak relevan lagi dengan pola pikir kaum milenial yang semakin terbuka. Kalaupun itu laku, dikarenakan ekses dari berkembang pesatnya teknologi informasi yang berujung pada menumpuknya berita bohong di ruang publik. Sehingga kaum milenial dengan segala pengaruh dan provokasi berita bohong itu menjadi sangat rentan terhadap isu-isu dan modus kecurangan politik demikian.

Dilemah memang, ketika budaya politik milenial diperhadapkan dengan kepentingan politik pragmatis para elit politik menuju momentum pemilu 2024 nanti. Keterbukaan informasi sebagimana ciri khas budaya politik pemilih milenial justru dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan "kemenangan partai" oleh sebagain kalangan, meskipun dilakukan secara tidak wajar. Pemilu yang seharunya menjual program kerja dan komitmen membangun justru dipenuhi oleh intrik-intrik dan kecurangan politik demi tampuk kekuasaan.

Di tengah situasi demikian, mampukah demokrasi berjalan dan memerangi segala bentuk kecurangan politi menjelang pemilu 2024 melalui keterbukaan dan kejernihan berpikir kaum muda milenial? Atau justru kaum milenial secara sengaja menempatkan diri di tengah kecurangan rersebut oleh karena tidak mampu mengelola dan menyaring segala informasi dan komunikasi yang terjadi di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini?

Tak dapat dipungkiri bahwa era keterbukaan informasi di kalangan pemilih milenial saat ini telah membawa efek ganda bagi perkembangan dan dinamika politik tanah air. Di satu sisi keterbukaan informasi itu adalah sebagai fakor pendukung bagi terlaksananya demokratisasi di dalam sebuah proses politik, terutama menjelang momentum pemilu 2024,  atau justru keterbukaan informasi itu menjadi kekuatan penghancur bagi proses demokratisasi di dalam tatanan kehidupan politik indonesia ke depan. Hal ini tentu tergantung dari sejauh mana rasa kepedulian dan tanggung jawab masing-masing warga negara di dalam mewujudkan sebuah politik yang betul-betul demokratis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun