Bukan Sekadar Malas, Tapi Jebakan Ekosistem Politik?
Menuding para pejabat ini malas mungkin terlalu menyederhanakan masalah. Banyak dari mereka terjebak dalam ekosistem politik yang memang tidak menghargai kedalaman. Ritme kerja yang luar biasa padat, tuntutan untuk selalu tampil di media, dan tekanan politik jangka pendek sering kali tidak menyisakan ruang dan waktu untuk refleksi dan membaca.
Budaya politik kita saat ini lebih menghargai politisi yang pandai membangun citra dan viral, daripada mereka yang tekun bekerja dalam sunyi sambil membaca tumpukan dokumen. Popularitas sering kali mengalahkan kompetensi. Dalam ekosistem seperti ini, membaca dianggap sebagai kemewahan, bukan kebutuhan esensial seorang pemimpin. Ini adalah sebuah cacat sistemik yang harus kita akui bersama. Para pejabat mungkin bukan satu-satunya tersangka, kita sebagai masyarakat dan media juga turut andil dalam menciptakan panggung yang lebih menyukai drama ketimbang gagasan.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Mengeluh saja tidak cukup. Kita perlu secara kolektif "menagih" kualitas yang lebih baik dari para pemimpin kita.
1. Sebagai Warga dan Pemilih: Mulailah menilai calon pemimpin tidak hanya dari janji manis atau penampilan karismatiknya. Coba gali rekam jejak pemikirannya. Bagaimana ia menganalisis masalah? Apa buku atau ide yang memengaruhinya? Kita harus mengirim sinyal yang jelas bahwa kita menginginkan pemimpin yang berotak, bukan sekadar bersuara lantang.
2. Â Peran Media dan Akademisi: Media harus berhenti menjadi corong dan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang substantif dan menantang. Undang para pejabat untuk berdiskusi tentang gagasan, bukan hanya sensasi. Akademisi dan para ahli perlu lebih proaktif "menerjemahkan" hasil riset mereka ke dalam format yang mudah dicerna oleh para pengambil kebijakan.
3. Â Kesadaran dari Para Pejabat: Pada akhirnya, perubahan terbesar harus datang dari dalam. Para pejabat publik harus menyadari bahwa membaca bukanlah hobi atau pengisi waktu luang, melainkan bagian inti dari pekerjaan mereka. Mendedikasikan satu atau dua jam setiap hari untuk membaca laporan, analisis, atau buku yang relevan adalah investasi terbaik untuk kualitas keputusan yang akan mereka ambil. Itu adalah sumpah jabatan yang tidak terucap.
Kepemimpinan adalah tugas intelektual sekaligus manajerial. Mengelola sebuah negara tanpa wawasan yang luas sama saja dengan mengemudikan kapal besar di tengah badai tanpa peta dan kompas. Masa depan bangsa ini terlalu berharga untuk ditulis oleh para pemimpin yang bahkan tidak mau repot-repot membaca bab-bab sebelumnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI