Pernahkah Anda mengerutkan dahi saat mendengar pernyataan seorang pejabat publik? Kalimat yang terdengar janggal, tidak nyambung dengan realitas, atau bahkan terasa begitu dangkal seolah baru saja dipikirkan lima menit sebelum diucapkan di depan mikrofon. Mungkin kita tertawa, menjadikannya meme, atau sekadar mengelus dada. Namun, di balik kelucuan atau kekesalan sesaat itu, ada sebuah gejala yang jauh lebih berbahaya: krisis literasi di kalangan para pengambil keputusan.
Ini bukan sekadar soal pejabat yang malas membaca buku tebal. Ini adalah kondisi "gizi buruk intelektual" yang kronis, di mana keputusan-keputusan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak lahir dari referensi yang minim, pemahaman sejarah yang sepotong-sepotong, dan wawasan yang tak lebih luas dari rangkuman berita utama pagi hari. Inilah darurat membaca di kursi kuasa, sebuah alarm senyap yang dampaknya bisa meruntuhkan sendi-sendi bangsa.
Kebijakan Selevel Status Medsos: Bahaya Pemimpin Miskin Referensi
Bayangkan seorang dokter yang akan melakukan operasi jantung, tetapi pengetahuannya hanya berdasarkan tutorial video berdurasi 30 detik. Atau seorang pilot yang akan menerbangkan ratusan penumpang dengan hanya mengandalkan ingatan samar tentang cara kerja mesin. Mengerikan, bukan? Itulah analogi paling dekat untuk menggambarkan seorang pejabat yang merumuskan kebijakan tanpa membaca.
Ketika seorang pemimpin berhenti "mengonsumsi" data yang valid, laporan penelitian, buku-buku sejarah, analisis ekonomi, atau bahkan karya sastra yang mengasah empati, sumber informasinya menyempit drastis. Apa gantinya? Rangkuman dari asisten yang mungkin bias, bisikan dari kelompok kepentingan, atau lebih parah lagi, sentimen populer yang sedang tren di media sosial.
Akibatnya, lahirlah kebijakan-kebijakan yang reaktif dan dangkal. Bantuan sosial yang salah sasaran karena tidak didasari data kemiskinan yang komprehensif. Peraturan tata kota yang memicu banjir karena mengabaikan studi lingkungan. Atau program ekonomi yang gagal total karena tidak mempertimbangkan konteks sosio-kultural masyarakat setempat. Semua ini terjadi karena fondasinya rapuh. Kebijakan yang seharusnya menjadi solusi jangka panjang, kualitasnya tak lebih baik dari status media sosial: bombastis di permukaan, tetapi kosong di dalam.
Gema Kosong di Ruang Publik: Ketika Jargon Mengalahkan Substansi
Pejabat yang tidak membaca cenderung menjadi "pembeo" ulung. Mereka fasih mengulang-ulang jargon, slogan, dan kata-kata kunci yang sedang populer. "Transformasi digital," "ekonomi hijau," "sumber daya manusia unggul." Terdengar indah dan meyakinkan, tetapi ketika ditanya lebih dalam tentang konsep, strategi implementasi, dan tantangannya, jawaban mereka sering kali mengambang dan berputar-putar.
Mengapa ini terjadi? Karena membaca memberi kita kerangka berpikir. Ia melatih otak untuk menghubungkan satu ide dengan ide lainnya, memahami sebab-akibat, dan melihat sebuah masalah dari berbagai sudut pandang. Tanpa "nutrisi" ini, seorang pemimpin hanya mampu menghafal, bukan memahami.
Ruang diskusi publik pun tercemar. Debat kebijakan yang seharusnya adu data dan gagasan berubah menjadi adu slogan. Narasi mengalahkan substansi. Akibatnya, masyarakat tidak teredukasi dengan baik tentang isu-isu penting. Kita diajak untuk percaya pada solusi-solusi instan yang magis, padahal masalah bangsa ini begitu kompleks dan membutuhkan pemikiran yang mendalam serta kerja keras. Pemimpin yang miskin bacaan secara tidak langsung menciptakan masyarakat yang juga miskin wawasan.