Mohon tunggu...
Yogie Pranowo
Yogie Pranowo Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Jakarta

Lahir di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1989. Kemudian lulus dari magister Filsafat di Stf Driyarkara tahun 2017. Buku yang sudah terbit antara lain: Perempuan, Moralitas, dan Seni (Ellunar Publisher, 2018), dan Peran Imajinasi dalam Karya Seni (Rua Aksara, 2018). Saat ini aktif menjadi sutradara teater, dan mengajar di beberapa kampus swasta, serta menjadi peneliti di Yayasan Pendidikan Santo Yakobus, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertanyakan Kesetaraan

22 Juni 2019   00:52 Diperbarui: 22 Juni 2019   01:10 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kesetaraan

Setiap manusia yang hidup dalam dunia yang seada-adanya (baca: realitas kekinian) menginginkan suatu relasi yang, katakanlah saling menguntungkan satu sama lain. Tidak ada manusia yang ingin dirugikan, apalagi ketika ia sudah masuk ke dalam fase "dewasa", dimana ia harus masuk ke dalam dunia kerja. 

Simbiosis mutualisme dalam praktik kerja amatlah kental. Coorporate atau perusahaan adalah sebuah corpus (tubuh) yang mendapatkan gairah pertumbuhan lewat keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh organ-organ tubuh lainnya. 

Artinya corpus tersebut adalah gabungan dari beberapa unsur pembentuk. Maka tak heran, ketika sebuah perusahaan mengalami defisit karena cacatnya satu divisi, maka corpus itu secara holistik akan merasakan dampaknya. 

Imbasnya, adalah bagian dalam organ yang bahkan tidak cacatpun bisa terkena "efisiensi" agar corpus menjadi utuh kembali. Seringkali efisiensi yang merupakan anak kandung dari efektivitas menjadi slogan yang didengung-dengungkan sebagai antithesis dari cacatnya corpus secara holistik.

Siapa manusia yang tak ingin diuntungkan? Semua menginginkannya, namun sayangnya, tidak semua mampu mewujudkan impiannya itu. Keuntungan dapat diperoleh, baik secara material maupun moral. 

Setiap dari kita tumbuh dalam budaya dan latar belakang yang beragam, sehingga karakter kita pun beragam. Dari ilmu Etika Dasar, misalnya, ada istilah lembaga normatif. 

Yang dimaksud dengan lembaga normative ini adalah pihak yang berhubungan langsung dengan kita dan membentuk kepribadian kita, lewat pengalaman. Pihak yang dimaksud antara lain: keluarga, teman bermain, hingga masyarakat luas. Pihak tersebut bahkan turut serta membentuk superego dalam diri kita masing-masing.

Perbedaan latar belakang, dan perbedaan kualitas hidup dari pihak yang turut serta membentuk karakter kita membuat kita hidup dengan karakteristik yang beragam. Tak heran, jika ada yang mengatakan bahwa kedewasaan bukan soal umur, misalnya.

Akhirnya kita menjadi dewasa dengan karakter yang berbeda.

***

Apa yang diharapkan dari kehidupan pada umumnya? Tergantung, di kelas social mana kita hidup. Bagi kaum marginal, tentu harapannya adalah memperoleh keadilan dalam upah. 

Atau bagi kelas borjuis, mereka akan lebih berharap pada kebahagiaan misalnya. Namun tulisan pendek ini tidak ingin membahas persoalan kelas social secara panjang lebar, sebab tentu, ini bukan kelas Marxisme. 

Namun dengan dua perbedaan harapan tersebut, sudah cukup menyadarkan kita, bahwa pada dasarnya kita senantiasa mengharapkan hal baik pada hidup kita. Baik yang seperti apa, itu tergantung sejauh mana ketidakmampuan kita untuk memperolehnya. Sejauh mana kita memproyeksikan keterbatasan kita menjadi sebuah harapan sebagaimana Feurbach mengutarakan dasar pemikiran ateismenya, proyeksi.

Dalam dunia seada-adanya yang tentu saja kaotik ini, manusia dianggap normal, manakala ia mampu hidup dengan pola yang sama dengan masyarakat luas pada umumnya: sekolah, bekerja, menikah, punya anak, dan mati. 

Padahal, bagi kalangan terpelajar, menikah atau tidak adalah pilihan. Menikah bukanlah sebuah prestasi yang harus dibangga-banggakan. Menikah itu biasa, yang luar biasa adalah tafsirannya.  

Ketika kita tumbuh dewasa dengan karakter kita masing-masing, pada dasarnya kita juga membawa ego dan hasrat kita yang kita tanamkan dalam diri kita. Sementara itu, kita selalu berharap dapat membangun relasi yang setara dengan orang lain. 

Karena ide itu pula, gerakan feminisme marak di dunia ini. Kesetaraan harus diperjuangkan, kira-kira itulah semangatnya.

Pun dengan membangun keluarga. Kesetaraan menjadi momok dalam dunia yang sudah kecanduan dengan patriarki ini. Alih-alih membangun relasi yang setara, pada kenyataannya, hanyalah untuk ego masing-masing individu yang dibalut oleh janji suci di hadapan Tuhan. 

Ego menjadi nahkoda tiap individu yang menginginkan kesetaraannya. Kesetaraan adalah kunci agar tidak disetir oleh individu lain. Kesetaraan hanyalah gairah semu yang harus selalu ditanamkan dalam sanubari agar tak bisa disalahkan dengan alasan apapun. 

Belum lagi pengkhianatan nalar yang dihasut oleh hasrat yang membabi buta. Ketika banyak orang yang menginginkan relasi yang egaliter, namun menafikan lubang ini, yang dapat kita lakukan adalah senantiasa mawas diri, sebab rupanya masih banyak PR untuk membangun relasi yang setara demi kebahagiaan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun