Mohon tunggu...
Yohan Rianto Prasetyo
Yohan Rianto Prasetyo Mohon Tunggu... Guru PPKn

diri, jadilah jiwa samudera yang menampung segala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membangun Budaya Komunikasi Yang Beradab

27 April 2025   12:55 Diperbarui: 27 April 2025   12:55 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada sebuah catatan sejarah menyampaikan kisah, sekitaran akhir abad ke 19 muncul suatu bahasa baru di Rusia, konon mereka menyebutnya sebagai bahasa Esperanto, kalaupun saya tidak salah menulisnya. Bahasa ini dirumuskan oleh seorang keturunan Yahudi bernama Zamenhof, ia lahir dan dibesarkan didalam lingkungan multi-etnis dan sering mendapati konflik dalam masyarakatnya. Zamenhof sangat yakin bahwa sering terjadinya konflik dalam masyarakat adalah karena ketiadaan bahasa bersama, mungkin istilah bagi kita sebagai bangsa Indonesia adalah 'bahasa persatuan'. Maka dari itu semua Zamenhof termotivasi untuk merumuskan suatu bahasa sebagai alat komunikasi yang mudah dipelajari dan mampu mempersatukan masyarakatnya.

Dari sekilas catatan sejarah tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa bahasa dan komunikasi adalah hal yang penting, bahasa dan komunikasi adalah dua hal yang berbeda disini, meskipun keduanya sangat terkait satu sama lain. Misal saja bagi mereka yang meyakini peradaban manusia yang bertahap-tahap dan dapat dibuktikan dari gambar ataupun ukiran dengan media batu atau dinding gua, dimana hal ini merupakan satu bukti bahwa dari sejak awal manusia senantiasa berkomunikasi dengan simbol sekaligus mengkomunikasikan simbol. Simbol-simbol itulah bahasa, dan bahasa~baik yang tertulisan maupun lisan adalah simbol yang dikomunikasikan.

Saya sendiri sangat meyakini tentang bagaimana manusia sebelumnya mencoba menyampaikan pesan lewat simbol-simbol dalam artefak, relief candi bahkan dalam kitab-kitab sebagai salah satu bentuk upaya komunikasi kepada generasi selanjutnya. Dari sini saya berkesimpulan bahwa komunikasi sangatlah penting. Lalu, apa dan bagaimana berkomunikasi?

Bagaimanapun komunikasi adalah penyampaian pesan, proses pertukaran informasi, ide dan perasaan yang sekali lagi merupakan tindakan penggunaan bahasa. Bukan sekedar keterampilan menggunakan bahasa, yang bahkan akhir-akhir ini muncul buku-buku yang menawarkan keahlian menguasai bahkan memanipulasi lawan bicara. Lebih dari itu semua, komunikasi juga kemauan dan kemampuan untuk mendengar. Inilah yang jadi permasalahannya, yaitu kemampuan dan kemauan untuk mendengar.

Mungkin sudah jadi wataknya manusia yang senantiasa hanya ingin didengar, kalaupun mau mendengar, toh hanya mendengar 'apa yang ingin ia dengar'. Hal demikian begitu umum dalam masyarakat yang bahkan sebentuk masyarakat yang selalu berbangga-bangga karena memiliki bahasa persatuan.

Dengan keinginan untuk selalu didengar inilah kemudian bangsa ini muncul ke pentas dunia sebagai bangsa wacana, atau bangsa yang hanya dipenuhi wacana tanpa ada gairah eksekusi. Tambah parah lagi bangsa ini adalah bangsa yang tidak suka membaca, jadi komunikasi lewat tulisanpun sangat mungkin untuk gagal.

Kemampuan dan keterampilan berbicara adalah sebuah kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal~yang akhir-akhir ini saya sadari bahwa juga tergantung pada faktor psikologinya, kecerdasan berpikir tingkat tinggi, bahasa keren untuk menaikkan harga jualnya adalah Higher-order thinking skills. Sampai lupa bahwa selain keterampilan berbicara juga terdapat kecerdasan berpikir tingkat tinggi lainnya yaitu menulis.

Demikian semangatnya kita untuk membangun manusia yang memiliki keterampilan berbicara hingga kita lupa untuk membangun manusia yang mau, mampu dan terampil dalam membaca, menulis dan mendengar, hingga akhirnya saat ini kita cukup mudah untuk menemukan manusia-manusia yang gemar berbicara. Padahal keseimbangan terjadi jika terdapat pendengar dan pembaca yang baik, jika si pembicara juga merupakan pendengar dan pembaca yang baik. Tidak adanya pendengar dan pembaca yang baik, yang muncul ya konflik dan manipulasi tanpa ampun, dengan kata lain tidak ada komunikasi, hanya sekedar penyampaian yang seringnya juga dipaksakan.

Kita punya politikus dan pembicara yang mutakhir, tapi mereka hanya mau didengar tanpa memiliki kemampuan dan kemauan untuk mendengar yang akhirnya mereka memerlukan kelompok-kelompok pendukung yang fanatik, maka mereka juga berusaha memanipulasi kesadaran para pendengarnya.

komunikasi sejatinya bukan hanya tentang bagaimana seseorang menyampaikan gagasan dengan baik, tetapi juga tentang bagaimana seseorang mampu membuka diri untuk memahami gagasan orang lain. Komunikasi dua arah menuntut adanya keseimbangan antara berbicara dan mendengarkan, sebagaimana seorang penulis, tentunya ia juga harus mau membaca. Dalam kesempatan lain juga adalah mendengar dan membaca kritik dan saran dari orang lain.

Menjadi pendengar atau dalam hal lain menjadi pembaca yang baik memang butuh Latihan dan pembiasaan. Seorang pendengar yang baik tidak hanya mendengarkan kata-kata yang diucapkan, tetapi juga berusaha memahami makna, perasaan, dan maksud yang tersembunyi di balik kata-kata yang ia dengar, tentunya sebagai manusia, si pendengar pun perlu untuk menangkap emosi dan ekspresi dari lawan bicaranya. Demikian pula, menjadi pembaca yang baik menuntut keterampilan lebih dari sekadar membaca huruf-huruf di atas kertas; ia harus mampu menangkap gagasan, menafsirkan maksud, dan mengaitkan dengan pengalaman serta pengetahuan yang ia miliki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun