Terik mentari memancar dari langit dan kendaraan semakin ramai berlalu-lalang, udara terasa gerah dan berdebu di jalanan Tumpang. Terlihat candi jago menjulang diantara bangunan-bangunan yang seakan berlomba menjadi tertinggi. Pertama kali melintasi wilayah ini, sekitar lima belasan tahun yang lalu saya masih menemui kereta kuda dan becak yang berlalu-lalang dijalanan, kini untuk angkotpun hanya sesekali terlihat melintas. Terakhir saya mendatangi candi ini sekitaran tahun 2016 yang lalu, bukan bermaksud untuk melakukan study atau semacamnya, waktu itu saya punya rencana menjelaskan kepada seorang kenalan saya dari Kediri tentang seluk beluk candi ini. Dalam rangka PDKT sih, meski akhirnya gagal.
Awal candi Jago dibangun sekitaran tahun 1268 berbarengan dengan dieksekusinya Konradin oleh Charles sebagai rangkaian upayanya membangun kekuatan untuk menguasai Yerusalem, dan pertempuran dahsyat di Tiongkok antara pasukan Kubilai Khan dengan pasukan dinasti Song dan berakhir dengan pengepungan sungai Yangtze yang semakin memperlemah dinasti Song.
Candi Jago dibangun oleh pemerintahan Kertanegara sebagai bentuk penghormatan terhadap ayahnya, Sri Jaya Wisnuwardhana yang di darmakan di dua tempat yang berbeda. Sebagai penganut Hindu, Wisnuwardhana dicandikan di Mleri sebagai Siwa, dan di candi jago atau yang tadinya bernama Jajagu ini sebagai Budha.
Pemerintahan Wisnuwhardana dikenang sebagai pemerintahan yang mampu mendamaikan keturunan Ken Arok dan keturunan Tunggul Ametung. Pada masa inilah diperkenalkan pula pembagian kekuasaan dalam sebuah pemerintahan, Wisnuwardhana sebagai pemimpin sipil yang berkuasa di Tumapel dan Mahisa Cempaka yang keturunan dari Ken Arok menjadi pemimpin militer yang bertahta di Kediri dengan gelar Narasinghamurti. Model pemerintahan ini disebut sebagai pemerintahan 'dua naga dalam satu liang'. Model pemerintahan yang sampai sekarang tidak pernah disebut dan dipelajari dalam teori-teori ilmu negara, mungkin kalah pamor dengan teori-teori dari Eropa.
Pemerintahan Wisnuwardhana dikisahkan sebagai pemerintahan yang bermula dari upaya menghentikan dendam yang turun temurun sejak Ken Arok berhasil memberontak dari Kediri dan mendirikan kerajaan Tumapel. Wisnuwardhana pula yang meresmikan Singhasari sebagai ibu kota yang pada akhirnya kerajaan Tumapel malah dikenal sebagai kerajaan Singosari.
Candi Jago memiliki teras bertingkat-tingkat, ada tiga tingkat lapisan dengan candi utama yang sudah hancur dibagian teratas, seperti konsep 'punden berundak' yang telah dikenal oleh masyarakat Nusantara sebelum kedatangan agama Hindu-Buddha. disetiap teras terdapat tangga dengan hiasan relief yang pada dasarnya merupakan penyimbolan dari cerita-cerita dalam ajaran agama Hindu dan Buddha. Terdapat pula arca kirtimukha di halaman candi, tergeletak diatas tanah berumput. Pahat-ukir arca kirtimukha ini khas jaman Singhasari dan Majapahit yang garang.
Terdapat pula arca amoghapasa berlengan delapan yang diduga sebagai perwujudan Wisnuwardhana, dalam agama Buddha, amoghapasa merupakan perwujudan Lokeswara yaitu salah satu boddhisatwa. Arca ini melambangkan sifat welas asih. Tidak jauh dari arca amoghapasa terdapat alas arca yang diduga, kemungkinan untuk meletakkan arca amoghapasa. Konon beberapa arca yang lain sudah dipindah, kini disimpan di museum di Jakarta, sedang benda berharga yang terdapat disumuran candi sudah raib dijarah.
Kisah menarik dari arca amoghapasa dalam beragam catatan sejarah adalah lahirnya gagasan penyatuan nusantara, awal mulanya juga dari gagasan pemerintahan Wisnuwardhana dalam upaya mencapai stabilitas negara. Begitu stabilitas tercapai, maka Raja Kertanegara sebagai penerus pemerintahan Wisnuwardhana bisa berkonsentrasi untuk memperluas wilayah kerajaan. Untuk menggandeng kerajaan Melayu, Kertanegara mengirim hadiah persahabatan berupa arca amoghapasa kepada Tribhuwanaraja penguasa kerajaan Melayu.
Dikenal sebagai ekspedisi Pamalayu, arca amoghapasa dibawa dari Jawa oleh serombongan pasukan yang dipimpin Kebo Anabrang. Dan sebagai balasannya, raja Melayu mengirim dua putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak untuk dinikahkan dengan raja Kertanegara. Bukan tanpa sebab, kerajaan Singosari dibawah pemerintahan Kertanegara menyelenggarakan ekspedisi Pamalayu, hal ini khususnya karena tersiar kabar tentang kemunculan sebuah kerajaan yang ekspansionis dari Mongolia, Dinasti Yuan yang dipimpin Kubilai Khan. Mungkin seperti sebuah pakta pertahanan untuk sama-sama bersiap menjelang baku hantam melawan Dinasti Yuan yang kemungkinan pada waktu itu sudah mengirim utusan penaklukkan ke pulau Kalimantan, dan konon kerajaan Singosari juga punya wilayah satelit di salah satu pesisir Kalimantan, sebuah wilayah yang juga berfungsi sebagai mercusuar untuk menangkap situasi dan kondisi yang kemudian mengirim sinyal-sinyal ke pusat kerajaan di Jawa. Benar atau tidaknya, saya belum dapat memastikan.
Untuk arca Kirtimukha, tentunya arca ini memiliki ciri khas yang berbeda dengan pahatan kirtimukha di candi-candi di Jawa Tengah, kirtimukha khas jaman Singasari dan Majapahit dipahat lebih garang dan menteramkan ketimbang pahatan kirtimukha di kebanyakan candi di Jawa Tengah. Fungsinya sama, yaitu sebagai penjaga pintu masuk candi.
Yang membuat saya terkesan dari candi Jago adalah pahatan reliefnya yang diukir mendekati tampilan tiga dimensi~diukir cukup dalam dan mendetail, pun menyimpan ragam kisah dari tradisi keagamaan Hindu dan Buddha. Konon kisah punakawan pengiring pandawa yang paling tua terdapat disebagian relief candi ini. Meski belum terdapat gambaran sosok Semar dan putra-putranya. Dari tradisi agama Buddha, terdapat relief yang menceritakan kisah-kisah tantri, salah satunya adalah kisah raja yang dianugerahi kemampuan untuk menerjemahkan bahasa hewan. Dalam hal ini, pernah ada kabar yang secara serampangan menyampaikan kepada masyarakat bahwa kesenian bantengan sendiri diambil dari salah satu relief di candi Jago, yang menggambarkan bahwa dahulu kala para raja Jawa itu berkendara banteng. Ini ngawur sekali.
Tidak terdapat relief di candi Jago yang mengisahkan bahwa raja Jawa jaman dahulu itu mengendarai banteng, yang ada malah ukiran gomuka berbentuk kerbau dalam kisah kunjarakarna yang berisi tentang siksa neraka. Sekali lagi, yang terpahat di area candi Jago adalah kisah dari tradisi agama Hindu dan Buddha. Kisah yang terdapat dalam relief candi biasanya tidak memuat peristiwa sejarah, seringnya adalah kisah-kisah yang memuat nilai-nilai dalam tradisi agama Hindu dan Buddha.
Tentang kisah punakawan, memang terdapat ukiran yang mengisahkan perjalanan Arjuna bersama dua orang jelata sebagai pengiringnya, mungkin inilah yang dimaksud bahwa kemunculan sosok punakawan tertua yang pernah ditemukan. Kalau kunjarakarna tadi berkisah tentang aktifitas di neraka, maka kisah Arjuna ini berkisah tentang kehidupan surga hingga kisah Arjuna wiwaha. Tentang sosok semar dan putra-putranya baru muncul dalam kidung Sudamala, kisah Sadewa yang meruwat Batari Uma, dan kisah tersebut tidak terdapat di candi Jago ini.
Beragam kisah tersimpan dalam candi Jago, candi ini juga sempat direnovasi dijaman Majapahit. Saya juga pernah melihat penduduk jaman VOC berfoto dengan membawa sepeda ontelnya keatas candi. Betapa bangunan bersejarah ini telah melawati serangkaian sejarah hingga saat ini. Berawal dari penghormatan terhadap seorang raja yang berhasil mengakhiri episode dendam berdarah-darah hingga mengawali gagasan penyatuan nusantara. Sayapun juga sempat menyumbang kisah cinta yang kandas ditengah jalan.
Seingat saya, kenalan saya dari Kediri itu saya ajak duduk-duduk di tingkat ke tiga candi Jago setelah saya jemput dari Stasiun Kota Baru Malang. Kalau tidak salah hanya berselang tiga hari setelah gegap perayaan malam pergantian tahun. Belum sempat saya bercerita kepada kenalan saya tersebut, saya mendengar dibelakang kami membicarakan kutukan Empu Bharada, tokoh yang berhasil mengalahkan Calon Arang.
Dalam Nagarakertagama, Mpu Bharada bertugas menetapkan batas dari pembelahan kerajaan Medang Kahuripan. Kerajaan Medang terbagi menjadi dua: Kediri dan Jenggala, batas tersebut diyakini adalah sungai Brantas. Isi kutukan tersebut adalah siapapun yang berani melanggar batas tersebut, maka hidupnya akan diliputi kesialan. Kutukan yang pada akhirnya banyak memunculkan tafsiran di masyarakat, salah satunya adalah larangan menikah antara penduduk yang terpisah oleh aliran sungai Brantas, ya termasuk Malang dan Kediri. Tapi masyarakat sebenarnya juga meyakini bahwa kutukan tersebut sudah tawar oleh upaya Wisnuwardhana dalam menyatukan wilayah tersebut.
Selanjutnya, kami beranjak menuju Candi Kidal, saya cukup menyesali hal ini, pada waktu itu saya tidak menyadari terdapat spot nongkrong epic di daerah Gubuk Klakah, tapi ya sudahlah. Belum sampai Candi Kidal, perjalanan kami dihadang pertunjukkan kuda lumping yang cukup 'chaos', bahkan seorang pemain yang tubuhnya berlumuran lumpur tiba-tiba melompat menghadang tepat didepan motor beat karbu saya. Karena kenalan saya ini ketakutan maka saya batalkan perjalanan menuju candi Kidal, toh juga sudah terlalu sore. Sebagai gantinya saya ajak dia makan nasi goreng di seputaran Jalan Sukarno-Hatta Malang. Dan itulah pertemuan terakhir kami.
Tadinya...
Aku mau kisahkan sebuah candi
sebab aku hanyalah lelaki
yang tidak punya kemampuan
membangun seribu candi
tapi apa daya, kita harus berpisah
ya sudah...
kau jalani hidupmu kini
dan aku sempatkan menulis
artikel tentang kita di sebuah candi
salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI