Mohon tunggu...
Yessy Septia Widiyastuti
Yessy Septia Widiyastuti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Financial

Hegemoni Dolar: Kekuatan Struktural dan Ketergantungan Moneter

2 Mei 2025   00:07 Diperbarui: 2 Mei 2025   00:07 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Hegemoni dolar mengacu pada dominasi dolar Amerika Serikat (AS) di dunia dalam perdagangan internasional, keuangan, dan cadangan moneter. Dominasi dolar AS dalam sistem moneter internasional dimulai sejak diberlakukannya sistem Bretton Woods pasca Perang Dunia II. Dalam sistem ini, disepakati bahwa nilai tukar mata uang negara-negara peserta akan dipatok terhadap dolar AS, dan dolar sendiri dipatok terhadap emas dengan nilai tetap: USD 35 per ons emas. Artinya, dolar menjadi satu-satunya mata uang yang secara langsung bisa dikonversi ke emas, sedangkan mata uang lain bergantung pada dolar sebagai acuan nilai. Dengan posisi ini, dolar secara otomatis menjadi mata uang cadangan utama (reserve currency) dan alat tukar utama dalam perdagangan internasional. Negara-negara lain menyimpan cadangan dolar untuk menstabilkan nilai tukar mereka dan untuk membayar impor barang serta jasa dari luar negeri. Namun, pada 1971, AS memutuskan keterikatan dolar terhadap emas (dikenal sebagai Nixon Shock). Hal ini mengakhiri sistem Bretton Woods dan membuka era sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate system).

Terlepas dari berakhirnya sistem Bretton Woods, dolar AS masih menjadi mata uang yang paling dominan dalam ekonomi global saat ini. Dolar AS menjadi alat utama dalam perdagangan internasional, cadangan devisa utama bank sentral di seluruh dunia, dan satuan utama dalam transaksi keuangan global. Dominasi ini memberi Amerika Serikat kekuatan ekonomi dan geopolitik yang sangat besar. Dominasi dolar bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga mencerminkan kekuasaan politik dan struktural AS dalam membentuk tatanan ekonomi dunia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Susan Strange, kekuatan struktural adalah kekuatan untuk membentuk aturan main dan kerangka kerja yang menentukan bagaimana negara, individu, atau perusahaan berinteraksi satu sama lain dalam sistem internasional. Dominasi dolar mencerminkan struktur politik-ekonomi yang memungkinkan AS mengontrol keuangan global, memaksakan kepentingan geopolitiknya, dan melanggengkan ketimpangan dalam sistem global.

Susan Strange, membedakan kekuatan menjadi dua jenis yaitu kekuatan struktural dan kekuatan relasional. Kekuatan relasional merujuk kapabilitas fisik dan material yang dapat diperhitungkan dan diperkirakan. Kekuatan relasional memaksa atau memengaruhi aktor lain agar bertindak sesuai kehendaknya, meskipun bertentangan dengan preferensi aktor tersebut. Jika kekuatan relasional adalah kemampuan pihak A untuk membuat pihak B melakukan sesuatu yang tidak akan ia lakukan, maka kekuatan struktural menentukan apa saja pilihan yang tersedia bagi pihak B sejak awal. Kekuatan struktural mampu membentuk rentang pilihan dan mengarahkan aktor lain untuk memilih satu opsi tanpa harus memaksa mereka secara langsung. Strange mengidentifikasi empat aspek utama yang menentukan ekonomi global yaitu keamanan (security), produksi (production), keuangan (finance), dan pengetahuan (knowledge). Hegemoni dolar termasuk dalam bentuk kekuatan struktural dalam aspek keuangan (finance) di mana dominasi dolar ini memungkinkan AS membentuk aturan, akses, dan hasil sistem ekonomi global sesuai kepentingannya.

Struktur keuangan global yang dibangun di atas dominasi dolar memberi AS kekuasaan dalam berbagai cara. Pertama, sebagai mata uang cadangan utama (reserve currency). Dolar AS dipegang oleh sebagian besar negara untuk menstabilkan mata uang mereka dan mendanai perdagangan internasional. Lebih dari 60% cadangan devisa global dalam bentuk dolar. Status dolar AS sebagai reserve currency memberikan keuntungan yang sangat besar pada AS. Valery Giscard d'Estaing, mantan menteri keuangan Prancis, mencetuskan istilah exorbitant privilege yang merujuk pada keuntungan AS karena status dolar AS ini. Status dolar AS sebagai reverse currency membuat permintaan dolar menjadi tinggi. Tingginya permintaan global terhadap dolar membuat AS bisa meminjam uang dengan murah. Artinya, karena negara-negara lain membutuhkan dolar sebagai cadangan devisa, mereka secara aktif membeli obligasi pemerintah AS (surat utang). Ketika permintaan terhadap obligasi tinggi, AS tidak perlu menawarkan bunga yang tinggi untuk menarik investor. Akibatnya, meskipun AS terus mengalami defisit perdagangan, negara itu tetap bisa membiayai defisit tersebut dengan mudah dan murah.

Kedua, AS mengontrol infrastruktur inti sistem keuangan global. Institusi seperti CHIPS dan Fedwire berada dalam yurisdiksi AS. Hal ini memberikan AS kemampuan untuk menjadikan sistem keuangan sebagai senjata. Karena sebagian besar perdagangan dan transaksi keuangan internasional menggunakan dolar, AS memiliki wewenang untuk memblokir akses negara atau aktor tertentu dari sistem keuangan global. Ketika AS menjatuhkan sanksi, mereka tidak hanya melarang entitas domestiknya bertransaksi, tetapi juga dapat mengancam entitas asing yang tetap berinteraksi dengan pihak yang disanksi (secondary sanctions). Sanksi ini secara efektif mengisolasi negara atau aktor sasaran dari sebagian besar ekonomi global, bahkan tanpa kekuatan militer. 

Ketiga, harga komoditas global mayoritas ditetapkan dalam dolar AS. Komoditas seperti minyak mentah, emas, gas alam, gandum, dan tembaga umumnya diperdagangkan dalam denominasi dolar di pasar internasional. Hal ini membuat negara-negara di seluruh dunia semakin bergantung pada dolar untuk melakukan impor kebutuhan. Akibatnya, negara-negara harus menjaga cadangan dolar yang cukup agar tetap dapat berpartisipasi dalam perdagangan internasional. Ketergantungan ini tidak hanya menstabilkan permintaan terhadap dolar, tetapi juga memberikan keuntungan struktural bagi AS.

Hegemoni dolar AS pada gilirannya mengarah pada persoalan yang lebih besar yaitu ketergantungan. Sistem saat ini menciptakan ketergantungan moneter bagi negara-negara berkembang. Ketergantungan ini membuat negara-negara berkembang sangat rentan terhadap kebijakan moneter AS. Ketika Federal Reserve menaikkan suku bunga, modal cenderung keluar dari pasar negara berkembang dan kembali ke AS. Hal ini menyebabkan depresiasi mata uang dan peningkatan beban utang bagi negara-negara dengan pinjaman dalam dolar. Pada 2022 hingga 2023, pengetatan kebijakan moneter oleh The Fed memicu gejolak ekonomi di Ghana, Mesir, dan Sri Lanka. 

Lembaga-lembaga seperti International Monetary Fund (IMF) dan World Bank juga memperkuat hegemoni dolar. Meskipun disebut lembaga internasional, struktur tata kelola mereka didasarkan pada sistem suara dan AS memiliki hak veto atas banyak keputusan penting. Rekomendasi kebijakan mereka sering kali mencerminkan ideologi ekonomi pro-AS seperti penyesuaian struktural, penghematan (austerity), dan liberalisasi. Lembaga-lembaga ini bertindak sebagai penjaga akses pembiayaan global, dan syarat mereka cenderung mendahulukan kepentingan pasar dan investor. Alhasil, dominasi AS justru diperkuat.

Meski dominasi AS sangat kuat, kini tanda-tanda perlawanan mulai bermunculan. Negara seperti China dan Rusia mulai mempromosikan mekanisme keuangan alternatif, seperti perdagangan bilateral dengan mata uang lokal dan sistem pengganti SWIFT. Negara-negara BRICS membahas penciptaan mata uang cadangan baru untuk mengurangi ketergantungan pada dolar. Selain itu, di Asia Tenggara, ASEAN mengembangkan Local Currency Transaction (LCT) untuk memperkuat otonomi keuangan kawasan. Namun, upaya ini menghadapi hambatan besar. Sistem berbasis dolar masih unggul dalam kedalaman pasar, likuiditas, dan kepercayaan. Efek jaringan (network effect) dari dominasi dolar juga membuat sistem ini sulit tergantikan.

Kesimpulan

Hegemoni dolar AS dalam sistem keuangan internasional merupakan wujud nyata dari kekuatan struktural sebagaimana dijelaskan oleh Susan Strange. Melalui kontrol atas infrastruktur keuangan global, kemampuan menetapkan standar harga komoditas, serta otoritas dalam sistem cadangan devisa, AS tidak hanya mempertahankan posisi strategisnya dalam ekonomi dunia, tetapi juga menggunakan dolar sebagai alat geopolitik yang. Hegemoni ini memungkinkan AS untuk membiayai defisit dengan murah, menjatuhkan sanksi ekonomi yang melumpuhkan, dan memengaruhi kebijakan negara lain tanpa kekuatan militer. Ketergantungan global terhadap dolar AS menciptakan tatanan internasional yang asimetris, di mana negara-negara lain terjebak dalam sistem yang dirancang untuk menguntungkan satu kekuatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun