Sound Horeg merupakan sebuah sistem audio besar yang mampu memproduksi suara dengan intensitas sangat tinggi. Kata "horeg" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "bergerak" atau "bergetar". Dengan demikian, secara literal Sound Horeg berarti "suara yang menyebabkan getaran". Sistem audio ini dikembangkan untuk memberikan pengalaman mendengarkan yang luar biasa bagi audiensnya. Hal ini dikarenakan Sound Horeg dapat menghasilkan suara yang kencang dan jernih tanpa adanya distorsi. Menurut Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (KBJI) yang diterbitkan oleh Kemendikbud, istilah horeg merujuk pada tindakan bergerak atau bergetar. Selanjutnya, dalam jurnal berjudul 'Jogja Horeg Proses Penciptaan Komposisi Berdasarkan Penerapan Improvisasi Tekstural Pada Gaya Musik Free Jazz' oleh Harly Yoga Pradana, dijelaskan bahwa horeg merupakan istilah yang berasal dari bahasa Jawa kuno. Horeg berarti gempa atau guncangan.Â
Awal mula adanya sound horeg
Fenomena sound horeg yang kini marak di berbagai wilayah Pulau Jawa ternyata berakar dari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Tradisi ini berawal dari kebiasaan masyarakat Banyuwangi yang gemar melakukan adu sound atau adu kekerasan frekuensi suara dan kualitas sound system saat malam takbiran menjelang Idul Fitri dan Idul Adha.Â
Dalam wawancara bersama Pak Rino, seorang narasumber yang telah lama berkecimpung dalam dunia sound system, ia menjelaskan bahwa tradisi adu sound tersebut sudah muncul sejak lama, meskipun skalanya masih kecil dan belum viral. "Kalau di Jawa Timur, mungkin dari 2005 sudah ada, tapi belum viral, skalanya kecil. Saya sendiri mulai 2012. Waktu itu belum ada sosial media, jadi viralnya dari mulut ke mulut," ujar Pak Rino. Ia menuturkan bahwa awal keterlibatannya dimulai saat ia disewa untuk acara di Banyuwangi, di mana sudah ada ajang sound besar tahunan. Dari sana, tren ini mulai menyebar ke wilayah lain seperti Malang, khususnya saat acara karnaval. "Tahun 2017 saya masuk ke Malang Selatan, sejak itu mulai dikenal di sana. Sekarang sudah luar biasa," katanya.
Kebiasaan ini kemudian berkembang menjadi sebuah tren tersendiri. Masyarakat berlomba-lomba menampilkan sound system dengan dentuman keras dan getaran yang bisa dirasakan dari jarak jauh. Istilah "masyarakat horeg" pun muncul untuk menyebut komunitas pengguna dan penikmat sound besar dalam berbagai kegiatan sosial.
Seiring waktu, sound horeg tak lagi hanya hadir saat malam takbiran, tetapi juga merambah ke berbagai acara rakyat, terutama karnaval. Di daerah-daerah seperti Jember, Malang, Blitar, Kediri, hingga Tulungagung, kehadiran sound system raksasa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kemeriahan perayaan, menciptakan pengalaman audio yang ekstrem dan menghibur.
Kemunculan pro dan kontra di sosial media
Video Sound Horeg banyak beredar di masyarakat melalui media sosial, tentunya hal ini menimbulkan banyaknya pro dan kontra. Contohnya pada salah satu video yang di upload oleh akun media sosial bernama "@aslimojokertocom", akun ini sempat mengunggah video sound horeg dengan caption "HORE!! AKHIRNYA SOUND HOREG KINI DIAKUI SEBAGAI KARYA SENI, KEMENHAM JATIM CATAT LONJAKAN 10 RIBU PERMOHONAN HAK CIPTA".Â
Dengan diunggahnya video tersebut muncullah berbagai komentar pro dan kontra, seperti :
- @SOGOL08 : Sound Horeg = HAMA
- @Heifan : Indahnya kesenjangan sosial China lagi belajar kloning DNA, amerika udah bikin AI tapi negara ini malah bikin sound horeg
- @elmaghfiroh27: MOHON MAAP GUE ORANG JATIM GAK PERNAH SENENG NAMANYA SOUND HOREG, APALAGI INI SAMPE DIAKUI JADI SENI ..DUH NANGIS BANGETÂ
- @LacTheDemon : sebenarnya gapapa ada horeg asal jangan keliling apa lagi sampe ngerusak fasilitas umum mending diem di tempat kaya lapangan biar ga terlalu ngerusak fasilitas umum