Mohon tunggu...
Pena Wimagati
Pena Wimagati Mohon Tunggu... Mahasiswa dan Jurnalis

Tulis, Baca, Nyanyi dan Berolahraga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengemis Rohani dan Penjajah Religius

21 Juli 2025   23:24 Diperbarui: 21 Juli 2025   23:24 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada konspirasi yang luar biasa. Banyak lembaga-lembaga swadaya atau LSM-LSM (yayasan) yang para tokoh agamawan buka, atau tokoh siapa saja buka mengatasnamakam agama, kongregasi, Tuhan, yang bila kita cek visi-misi awalnya dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya amat sangat sosialis dan harmonis, tidak lupa teologis, spiritualis, dan agamis. Namun dalam prakteknya bercokol segala macam sifat Dajjal, Valak, Lucifer, Beelzebub, dan neraka.

Ketika mereka mendirikan suatu lembaga pelayanan atas nama kemanusiaan dan keadilan, mereka mulai membidik para pejabat seagama, segaris kepentingan, orang-orang berada yang mereka namakan donatur, sponsor, dermawan, dan pemerintah tentunya. Bangunan yang tidak layak, fasilitas penunjang yang tidak pantas, siatuasi da kondisi para peserta didik yang terbatas, penghuni asrama atau panti yang penuh intrik belas kasihan, dan lain-lain menjadi komoditas yang menjanjikan di pasar terang (bukan pasar gelab, karena berlangsung di rumah Tuhan). Ini semua menjadi objek komodifikasi, komersialisasi melalui dokumentasi dan publikasi.

Inilah bisnis air mata buaya yang saya maksud. Tidak ada yang terberi di sini, tidak ada yang alami, semua adalah desain, adalah settingan. Dalam bisnis air mata buaya di pasar terang ini air mata adalah komoditi, luka, derita, dan sakit adalah komoditi. Mereka menjual air mata dan derita demi cuan. Mereka arsipkan lara baik-baik dalam proposal permohonan bantuan dana yang bunyinya bisa membocorkan atap rumah berlantai.

Pemerintah, para sponsor, donatur, dan penderma tentunya akan mendukung, mereka akan meyuntikkan atau mensubsidikan bantuan dalam bentuk dana, barang, dan jasa. Bantuan tersebut akan pengurus gunakan untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Tidak sampai lama, proposal baru akan muncul lagi, lagi, dan lagi. Fasilitas sepertinya tidak banyak mengalami perubahan signifikan. Tidak ada progres perubahan situasi dan kondiai sekolah, asrama, panti asuhan, klinik, dan lainnya. Jika regresnya tentunya akan tambah banyak dan menjadi-jadi variannya.

Lantas kemudian orang mulai bertanya, kemanakah semua bala bantuan dana, barang, dan jasa yang melimpah, terutama dana meroket itu? Alat-alat makan masih sama saja, tempat tidur, tempat mandi, tempat belajar, tempat berdoa, tempat olahraga, gedung-gedunya masih sama saja tidak ada upaya pemulihan, penyegaran, dan peremajaannya? Bahan-bahan yang dirubah dan diganti jika dikalkulasi tidak sebanding dengan jumlah bantuan yang ada. Kemana bantuan-bantuan itu?

Dari belakang kita kaget, bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme beranak cicit di dalam sistem pengelolahan unit-unit karya sosial yang memakai nama orang-orang suci sebagai pelindungnya tadi. Tidak ada pelaporan pertanggung-jawaban dana dan bantuan yang jelas. Keterbukaan informasi terkait alur keluar masuk uang juga nihil, dibuat dengan rumus asal bapa senang.

Dari belakang juga kita kaget bahwa mereka-mereka yang melakukan KKN berjamaah ini memiliki gaya hidup yang super glamor, punya rumah mewah, mobil dan motor mewah, kapling tanah yang luas, bisnis-bisnis rahasia, punya tabungan harta yang besar. Dari mana semua ini berasal? Hanya mereka dan rumput bergoyng yang paham barangkali. Tidak ada Komisi Pemberantas KKN dalam institusi agama, Gereja misalnya, tidak ada undang-undang KKN, ini artinya selalu pelakunya selamat, dan korbannya selamat melarat.

Kita melihat banyak tokoh agamawan kita berkompetisi dalam membangun Gereja atau bangunan-bangunan megah berdimensi religius. Anda tahu biaya pembangunannya bisa menjadi ratusan miliar dan belasan triliun. Lantas untuk apa dan siapa uang sebanyak itu? Relevankah gedung yang megah dengan pertumbuhan iman umat?

Panitia pembangunan dan pimpinan agamanya mulai putar otak, goyang pinggul tujuh kali keliling dunia mencari suaka dan bantuan dengan mental pengemis, pengamen, dan pemulung. Dari sinilah teori-teori pengemis dari yang halus sampai yang ekstrim mereka peragakan. Berbondong-bondong mereka yang menamakan diri kaum religius mulai mengganti profesi sebagai pengemis, pengamen, dan pemulung.

Pengemis. Anda tahukan perawakannya? Mereka memperlihatkan muka yang suci tak bernoda, muka penuh belas kasih, muka proposal, muka permohonan. Mereka menggunakan bahasa, suara, dengan dana datar yang penuh meyakinkan. Gimick dan mimik muka ala-ala pengemis profesional yang bersertifikat mereka keluarkan.

Pengamen. Mereka menjual kharisma-kharismannya. Menjual firman Tuhan, kecakapan berkhotbanya atau berceramahnya. Bakat bernyanyi dan bermusik, dan bakat-bakat lainnya demi sehelai cuan. Mereka membagikan sumbangan di pusat-pusat keramaian, ebamukai mereka gelar berkali-kali. Untuk umat ada semacam paksaan untuk mengumpulkan upeti kepada sang kaisar. Umat menjadi budak yang sumber daya ekonominya dieksploitasi besar-besaran tanpa pandang stratifikasi sosial, ekonomi, dan politiknya dalam masyarakat. Pedihnya lagi umat-umat kecil yang harus membagikan 1000-2000 uang hasil kebunnya, untuk anaknya yang sedang sekolah, untuk makan minum keluarga, atau untuk panitia pembangunan yang ujung-ujungnya hangus di dalam api ketamakan mamon bernama KKN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun