WAMENA, PW.KOMPASINA.COM- Belasan mahasiswa relawan bencana yang tergabung dalam Posko Galang Donasi Bencana Jayawijaya dilaporkan tertahan di Wamena selama lebih dari tiga minggu. Mereka belum bisa kembali ke kota studi masing-masing karena belum adanya kejelasan bantuan pemulangan dari Pemerintah Daerah dan DPR Papua Pegunungan.
Ketua Posko, Bedira Tabuni, menyampaikan bahwa dirinya bersama Yali Denis Dapla, Menteri Hukum dan HAM BEM Universitas Cenderawasih (Uncen), serta sejumlah mahasiswa dari Solidaritas Bencana Jayawijaya, masih tertahan di Wamena. Mereka mengaku belum menerima respon maupun kepastian dari pemerintah provinsi maupun DPR Papua Pegunungan terkait kepulangan mereka ke Jayapura dan Makassar.
 "Kami sudah tiga minggu di Wamena sejak menyalurkan bantuan ke daerah terdampak. Aktivitas kuliah kami terganggu. Ujian akhir semester di Uncen sudah mulai minggu ini, tapi kami masih terkatung-katung tanpa kepastian," ujar Bedira kepada media, Senin (9/6/2025).
Bedira menjelaskan, sebagian mahasiswa dari kota studi lain seperti Manokwari telah difasilitasi pemulangannya. Namun, relawan dari Jayapura dan Makassar belum mendapat perlakuan yang sama. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan kesetaraan dukungan terhadap mahasiswa relawan yang semuanya berasal dari Papua Pegunungan.
 "Kenapa hanya mahasiswa Manokwari yang difasilitasi? Apakah kami yang dari Jayapura dan Makassar bukan mahasiswa? Kami semua relawan, kami semua anak Papua Pegunungan yang sedang belajar untuk membangun daerah ini. Tolong jangan diskriminatif," tegasnya.
Menurut Bedira, keterlibatan para mahasiswa dalam distribusi bantuan merupakan bentuk tanggung jawab moral sebagai generasi muda Papua, sekaligus wujud panggilan adat untuk menolong sesama. Namun, setelah menjalankan tugas kemanusiaan secara swadaya, nasib pendidikan mereka justru terancam karena minimnya perhatian dari pemerintah.
Senada dengan Bedira, Yali Denis Dapla menyebut bahwa relawan mahasiswa tidak semestinya dibiarkan terlantar setelah menjalankan tugas kemanusiaan yang berat.
 "Kami ke Wamena bukan untuk jalan-jalan. Kami bawa logistik, turun ke lokasi, melihat langsung penderitaan saudara-saudara kami yang terdampak bencana. Tapi setelah semua itu, kami dilupakan. Di mana keadilan negara terhadap mahasiswa relawan?" ujar Yali.
Sebagaimana diketahui, mahasiswa dari berbagai kota studi di Papua dan luar Papua berinisiatif menggalang dana dan menyalurkan bantuan bagi korban banjir bandang dan longsor di Kabupaten Jayawijaya. Mereka bergerak secara mandiri, menghadapi tantangan seperti cuaca ekstrem, keterbatasan transportasi, hingga medan berat ke lokasi-lokasi terisolasi yang belum dijangkau bantuan resmi.
Bencana yang melanda Jayawijaya menyebabkan puluhan warga meninggal, ribuan terdampak, dan rusaknya berbagai fasilitas umum serta pemukiman. Mahasiswa relawan menjadi salah satu ujung tombak distribusi bantuan di lapangan, menjangkau titik-titik terpencil demi memastikan logistik kemanusiaan sampai ke tangan korban.
 "Pemerintah jangan cuma hadir di konferensi pers. Kami butuh kehadiran nyata. Ketika anak-anak muda turun langsung bantu korban, negara harus hadir melindungi hak pendidikan kami," tambah Bedira.
Atas situasi ini, mahasiswa mendesak Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, dan DPR Papua Pegunungan untuk segera mengambil langkah nyata guna memulangkan para relawan ke kota studi masing-masing. Kepastian ini penting agar mereka bisa mengikuti perkuliahan dan Ujian Akhir Semester (UAS) tepat waktu.
"Satu hari saja tertinggal UAS, dampaknya besar bagi masa depan akademik kami. Pemerintah dan DPR tidak boleh tutup mata. Kemanusiaan dan pendidikan harus berjalan seiring," ujar Bedira.
Mahasiswa juga meminta dukungan dari rekan-rekan di berbagai kota untuk melakukan jumpa pers dan menyuarakan aspirasi mereka, agar pemerintah dan DPR Papua Pegunungan segera menindaklanjuti permintaan pemulangan tersebut.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah Daerah maupun DPR Papua Pegunungan terkait upaya pemulangan mahasiswa relawan yang masih tertahan di Wamena.
Menurut Bedira, keterlibatan mahasiswa secara sukarela dalam distribusi bantuan adalah bentuk tanggung jawab moral sebagai generasi muda Papua dan wujud nyata panggilan adat untuk membantu sesama. Namun ironisnya, pemerintah dan lembaga legislatif belum memberikan perhatian nyata terhadap kelanjutan nasib pendidikan mereka.
Senada dengan Bedira, Yali Denis Dapla menegaskan bahwa relawan tidak boleh dibiarkan terlantar setelah menjalankan tugas kemanusiaan.
"Kami datang ke Wamena bukan untuk berlibur. Kami membawa logistik, menemui masyarakat terdampak, dan menyaksikan sendiri luka dan kehancuran pasca-bencana. Tapi setelah itu, kami seperti dilupakan. Di mana keadilan negara bagi mahasiswa relawan?" katanya.
Diketahui, aksi galang dana dan penyaluran bantuan kemanusiaan dilakukan secara swadaya oleh mahasiswa dari berbagai kota studi, termasuk Jayapura, Makassar, dan Manokwari. Mereka menyalurkan bantuan ke sejumlah wilayah terdampak bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Kabupaten Jayawijaya, meski harus menghadapi tantangan berat seperti keterbatasan akses transportasi dan cuaca ekstrem.
Bencana tersebut menyebabkan ribuan warga terdampak, puluhan korban meninggal dunia, serta kerusakan berat pada rumah penduduk dan fasilitas umum. Para relawan mahasiswa ini menjangkau sejumlah titik terisolasi yang belum tersentuh bantuan resmi, dan menjadi salah satu ujung tombak distribusi logistik di lapangan.
"Pemerintah daerah tidak boleh hanya hadir saat konferensi pers. Mereka harus hadir secara nyata saat kami, anak-anak muda yang mewakili suara dan hati rakyat, memerlukan dukungan konkret," tambah Bedira.
Atas dasar itu, mahasiswa mendesak Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan, Pemerintah Kabupaten Jayawijaya, dan DPR Papua untuk segera mengambil langkah konkret dalam memulangkan seluruh relawan mahasiswa yang masih tertahan di Wamena. Hal ini penting agar mereka dapat kembali mengikuti perkuliahan dan UAS tepat waktu.
"Satu hari saja tertinggal UAS, risikonya besar bagi masa depan akademik kami. Pemerintah dan DPR tidak boleh tutup mata. Tanggung jawab sosial dan pendidikan harus berjalan seimbang," pungkas Bedira.
Kami juga meminta kawan-kawan mahasiswa jumpa pers dan sambung lidah demi kepulangan kami agar pemerintah dan DPR papua Pegunungan segera tahu respon dan tanggapi.Â
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Pemerintah Daerah dan DPR Papua Pegunungan terkait upaya pemulangan mahasiswa relawan dari Wamena.*
*Pewarta: Yodis Tabuni
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI