MENJAGA AMANAH PAJAK DI ERA DIGITAL
(Perspektif Hifz al-Mal dan Keadilan Fiskal)
Yepri Endika, SE, M.E.K
Setiap rupiah yang dibayarkan sebagai pajak, baik yang berasal dari gaji, transaksi belanja, maupun hasil usaha sesungguhnya adalah amanah yang harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan publik yang nyata. Negara memegang tanggung jawab besar untuk mengelola titipan ini dengan sebaik-baiknya. Namun, realitas yang kita saksikan sering kali bertolak belakang: kasus penyalahgunaan anggaran, proyek fiktif, dan penyaluran bantuan yang keliru masih kerap menghiasi pemberitaan. Pertanyaan penting pun muncul: apakah pajak di negeri ini telah dikelola dengan amanah dan keadilan?
Dalam perspektif Islam, prinsip hifz al-mal atau menjaga harta dari penyalahgunaan menjadi relevan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58). Nabi Muhammad SAW juga memperingatkan: “Barang siapa mengambil harta publik secara zalim, maka ia akan memikulnya di hari kiamat” (HR. Bukhari no. 3073). Nilai-nilai ini bukan sekadar tuntunan moral, tetapi menjadi panduan operasional dalam memastikan agar pengelolaan keuangan publik benar-benar memberi manfaat bagi rakyat.
Data terbaru menunjukkan bahwa penerimaan pajak Indonesia pada tahun 2024 mencapai Rp 1.873,9 triliun, melebihi target yang ditetapkan (Kementerian Keuangan RI, 2024). Capaian ini patut diapresiasi, tetapi nilainya akan merosot bila pengelolaan tidak disertai transparansi dan prinsip keadilan. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2024 mengungkap adanya 1.732 kasus ketidakpatuhan dengan potensi kerugian negara sebesar Rp 18,4 triliun (BPK RI, 2024). Transparency International tahun 2024 juga memberikan skor 34/100 pada Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, yang menandakan masih tingginya risiko penyalahgunaan dana publik. Deretan kasus korupsi bantuan sosial, mark-up proyek infrastruktur, hingga penyalahgunaan dana desa adalah bukti bahwa amanah pajak masih jauh dari kata sempurna.
Maqasid Syariah: Hifz al-Mal dan Maslahah dalam Kebijakan Pajak
Prinsip hifz al-mal dalam konteks perpajakan menuntut adanya langkah pencegahan (prevention) dan perlindungan (protection) yang jelas. Upaya pencegahan berarti memastikan regulasi pajak dirumuskan sedemikian rupa sehingga meminimalkan celah hukum yang berpotensi dimanfaatkan untuk penghindaran atau manipulasi penerimaan negara. Sedangkan perlindungan mengharuskan dana pajak yang telah terkumpul dijaga dari kebocoran melalui sistem pengawasan berlapis serta keterbukaan informasi kepada publik. Kondisi ini sangat relevan bagi Indonesia, mengingat temuan BPK yang berulang kali mengungkap penyalahgunaan anggaran APBN maupun APBD, menunjukkan rapuhnya perlindungan harta publik bila tidak ditopang tata kelola yang amanah (BPK RI, 2024).
Lebih dalam lagi, maqasid syariah memaknai hifz al-mal bukan sebatas menjaga jumlah dana yang terkumpul, melainkan juga memastikan nilai manfaatnya tetap utuh bagi masyarakat. Dengan kata lain, pajak yang berhasil dipungut namun dialokasikan pada program yang keliru atau tidak prioritas, pada hakikatnya telah melanggar prinsip maqasid karena manfaatnya hilang. Dari sudut pandang ini, ukuran keberhasilan kebijakan pajak tidak cukup dilihat dari tax ratio atau tercapainya target penerimaan, tetapi sejauh mana pajak tersebut berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan kesenjangan sosial.
Sementara itu, maslahah menggarisbawahi bahwa hasil pajak harus digunakan untuk proyek dan program yang memberi manfaat luas, berkelanjutan, dan berdampak nyata. Alokasi dana untuk pendidikan berkualitas, layanan kesehatan terjangkau, dan infrastruktur dasar adalah wujud implementasi maslahah. Sebaliknya, pemborosan pada proyek-proyek prestise yang minim manfaat publik adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah pajak.
Kedua prinsip ini memandu desain kebijakan pajak yang tidak hanya efektif secara ekonomi, tetapi juga sah secara etis dan syariah. Negara tidak cukup hanya mengumpulkan pajak, negara wajib memastikan setiap rupiah yang dipungut kembali ke rakyat dalam bentuk manfaat yang terukur.