Mohon tunggu...
YeBambang Triyono
YeBambang Triyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

WI Puslitbangdiklat RRI

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Radio Televisi Masa Depan, Siaran Digital atau "Streaming"?

14 Februari 2018   12:32 Diperbarui: 14 Februari 2018   12:45 3618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: /adheaisyah123.files.wordpress.com

Sejumlah negara di Asia Tenggara tengah berusaha bermigrasi dari siaran radio analog ke digital, sebuah sarana siaran radio untuk menarik banyak pendengar. Dalam sebuah lokakarya (workshop) bertajuk 'ASEAN Digital Radio Broadcasting'  digelar di Bandar Seri Begawan, Brunai Darussalam belum lama ini terungkap bahwa usaha digitalisai radio di sejumlah negara Asia Tenggara sedang berlangsung namun tidak mengalami kemajuan yang signifikan. 

Di Indonesia digitalisasi siaran digital berdasarkan pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI nomor 21 tahun 2009 tentang Standar Penyiaran Digital Untuk Penyiaran Radio pada Pita VHF. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak stasiun radio sudah siap terhadap digitalisasi radio siaran, namun pihak pemerintah belum begitu siap karena belum adanya regulasi pendukung Permen Kominfo tentang standard radio digital, dan masyarakat juga belum siap karena kurangnya sosialisasi dan masih susah didapatkannya perangkat penerima siaran radio digital.

Siaran radio digital jelas lebih kompleks di banding siaran analog. Oleh sebab itu diperlukan serangkaian dukungan. Ketika penyedia (provider) kabel atau satelit akan memasang peralatan dan menyediakan pelayanan konsumen, pelanggan teresterial digital diharapkan dapat memasang/mengatur pesawat penerima sendiri. Mereka juga perlu memahami instruksi pengoperasian peralatan. 

Semuanya ini akan menjadi masalah bagi kebanyakan orang. Regulator/pemerintah perlu memberikan layanan untuk pengoperasioan layanan siaran digital. Harga pesawat penerima juga menjadi masalah bagi kebanyakan khalayak. Sudah pasti, harga peralatan siaran digital jauh lebih mahal dibanding dengan pesawat penerima analog. Oleh sebab itu, sangat perlu bagi pemerintah untuk memikirkan penyediaaan alokasi dana untuk masyarakat agar memperoleh hak mendapatkan informasi dan mengeliminir diskriminasi perolehan informasi.

Plus Minus Siaran Digital

Digitalisasi penyiaran menjadi peluang untuk memperluas dan mengembangkan  layanan penyiaran bagi para pendengar dan penonton. Digitalisasi penyiaran adalah keniscayaan untuk memajukan industri televisi yang masih berbasis siaran analog. Digitalisasi dibutuhkan  karena siaran analog dianggap tidak lagi sejalan dengan kemajuan zaman yang menuntut serba sempurna, ringkas, dan cepat.

Sistem penyiaran digital  memiliki banyak keunggulan dibanding infrastruktur dan teknologi analog, seperti efisiensi penggunaan kanal frekuensi sehingga dapat menggunakan sejumlah kanal program, kualitas gambar dan suara lebih bagus (noise sangat kecil), penambahan jenis ragam layanan (audio, video, data). Namun Ada beberapa kelemahan/kekurangan dalam praktik digitalisasi penyiaran, diantaranya: 

1). Kesiapan mayoritas pendengar/penonton televisi di Indonesia yang masih menggunakan televisi analog (receiverkonvensional); 

2). Secara teknis terkadang masih muncul gangguan siaran berupa cliff effectdan blank spot dalam proses siaran digital (Setyobudi, 2006). Cliff effectdan blank spot adalah ketidakstabilan penerimaan sinyal digital yang lemah sehingga menyebabkan siaran terputus-putus/patah-patah atau bahkan tidak ada gambar jika pesawat televisi tidak memperoleh sinyal sama sekali; 

3). Bagi lembaga pengelola penyiaran, dalam jangka pendek, digitalisasi juga mengakibatkan kerugian secara teknis, misalnya pemancar televisi lama yang tidak dapat digunakan; 

4). Teknologi penyiaran digital juga menuntut keahlian khusus penggunanya dalam mengoperasikan alat, termasuk memperbaiki jika ada kerusakan. Keahlian dalam kaitan ini sangat terkait dengan sumber daya manusia yang harus mengikuti dan mampu bersinergi dengan digitalisasi. Media penyiaran yang kelak seluruhnya menggunakan  platform  digital juga harus dipahami  oleh  operator-operator yang  notabene secara teknis saat  ini masih banyak  mengoperasikan  teknologi analog. (Yusuf,IwanAwaluddin. 'Kelemahan Digitalisasi Penyiaran'. https://bincangmedia.wordpress.com/2012/12/30/kelemahan-digitalisasi-penyiaran/).

Digitalisasi penyiaran merupakan peluang untuk memperluas dan mengembangkan  layanan penyiaran bagi  pendengar dan penonton. Digitalisasi penyiaran adalah suatu keniscayaan untuk memajukan  industri televisi yang masih berbasis sistem siaran analog. Digitalisasi penyiaran diperlukan  seiring dengan kemajuan zaman yang menuntut serba sempurna, ringkas, dan cepat.

Rancangan Undang Undang  tentang Penyiaran hingga artikel ini ditulis belum juga selesai dibahas, apalagi diundangkan menjadi UU Penyiaran. Undang Undang tersebut akan menjadi dasar pelaksanaan digitalisasi penyiaran yang  salah satu bab-nya mengatur pelaksanaan penyiaran dengan teknologi digital, serta limpahan kepada peraturan perundang-undangan lainnya. 

Selain itu sosialisasi kepada seluruh masyarakat perlu ditingkatkan, agar semua masyarakat mengetahui dan siap untuk melaksanakannya. Lambatnya diundangkannya RUU Penyiaran disinyalir sarat kepentingan politik. (lihat artikel saya edisi Desember 2017, berjudul: 'Dunia Broadcast Indonesia Single Mux Versus Multi Mux dan atau Hybrid Ajang Tarik Menarik Kepentingan'.

Ahmad Budimani seorang Peneliti Madya Komunikasi Politik pada Bidang Politik Dalam Negeri, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekertariat Jenderal DPR RI mengemukakan,  digitalisasi perlu terus dilakukan meskipun masih banyak ketidakpastian, mulai dari payung hukum, infrastruktur, hingga hak publik. Dikeluarkannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 31 Tahun 2014 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus Untuk Keperluan Televisi Siaran Analog Pada Pita Ultra High Frequency dan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 1017 Tahun 2014 tentang Peluang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi Secara Analog Melalui Sistem Terestrial Pada Pita Ultra High Frequency perlu mendapatkan perhatian yang serius.

Hingga saat ini sistem radio digital di Indonesia telah ditetapkan standarnya berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) No.21/PER/M. Kominfo/4/2009, dengan  sistem DAB dialokasikan pada frekuensi band III VHF (174-216 MHz). Namun demikian, implementasi peraturan, model teknis dan model bisnis belum ditetapkan. Permasalahan yang dihadapi hingga saat ini dalam rangka penerapan sistem digital diantaranya belum dimilikinya pemancar DAB+ dan peralatan pendukungnya, radio receiver digital dengan all channel (DAB, DAB+, DMB), serta belum adanya ijin frekuensi radio DAB+. Selain itu di kalangan pengelola siaran radio/televisi digital masih perlu dilakukan pelatihan dalam mengoperasikan transmisi digital dan pemeliharaannya.

Mengenal Digital Radio Mondiale

Digital Radio Mondiale (DRM) merupakan standar radio digital yang dirancang oleh para broadcastersuntuk broadcasters dengan dukungan aktif pabrikan pesawat penerima (receiver) dan transmitters dan pihak terkait yang berkepentingan. DRM secara spesifik di rancang dan dapat digunakan pada  gelombang panjang, menengah, dan pendek (Long- Medium- and Short-wave bands) bands yang secara tradisional digunakan untuk siaran  AM (Amplitude Modulation) dan FM/VHF. Sepintas pandang tentang bands frekuensi DRM dapat dioperasikan dapat dilihat dalam gambar 1.

Gambar 1: Sumber: http://www.drm.org/what-is-drm/

Gelombang radio pada bands ini dapat menjangkau jarak jauh dan mencakup area yang sangat luas, sehingga sangat menguntungkan untuk siaran internasional dan siaran  regional di negara-negara berpenduduk padat.

DRM menggunakan Coded Orthogonal Frequency Division Multiplexing (COFDM), teknologi yang sama digunakan pada DAB, DVB-T dan DVB-T2 serta standard telekomunikasi LTE (the "4G" standard). COFDM yang dikombinasikan dengan Multi-level Coding (MLC) untuk mengoreksi kesalahan. Standar DRM pertama kali diterbitkan oleh The European Telecommunications Standards Institute (ETSI) sebagai ES 201 980 pada bulan September 2001 dan pada Maret 2012 versi 3.2.1 diterbitkan untuk memperluas sistem kedalam band VHF, dan ratusan jam transmisi mengudara setiap hari dari transmitters di seluruh dunia.

Standar DRM menguraikan sejumlah modes operasi yang berbeda, yang secara garis besar terpisah daklam dua kelompok sebagai berikut:

DRM30modes, yang secara spesifik dirancang untuk digunakan pada band siaran AM dibawah 30MHz.

DRM+modes, yang dugunakan untuk spektrum  dari 30MHz to 300MHz, berpusat pada  FM broadcast band II.

DRM telah menerima rekomendasi dari International Telecommunication Union (ITU), yang menyediakan dukungan peraturan internasional untuk pengoperasian transmisi. Standar utama DRM telah diterbitkan oleh The European Telecommunications Standards Institute (ETSI). ETSI menerbitkan standar teknis secara keseluruhan yang dimiliki DRM saat ini, (http://www.bbc.co.uk/rd/projects/digital-radio-mondiale),

Selain kemampuan memenuhi persyaratan spektrum saat ini, sistem DRM juga menguntungkan karena memiliki sistem terbuka. Seluruh pabrikan dan pihak  terkait yang tertarik memiliki akses bebas untuk melengkapi standar teknis, dan mampu merancang peralatan manufaktur berbasis kelayakan. DRM memanfaatkan kepemilikan propagasi unik AM bands. 

Pengenalan  DRM30 memberi peluang kepada broadcaster (lembaga penyiaran) untuk memberi pelayanan kepada pendengar dengan kualitas audio secara signifikan dan kehandalan pelayanan. Hasilnya broadcasters internasional dapat menyediakan pelayanan dengan menggunakan frekuensi SW (short wave) dan MW (medium wave) yang dapat disandingkan dengan pelayanan FM lokal, sambil meningkatkan kemudahan tuning pelayanan pendengar dan pelayanan data tambahan.

Radio Digital Sarana Konvergensi Media

Dalam suatu sesi pada sebuah konferensi internasional "Asia Meets Europe" di Rumania September lalu, ketua DRM, Ruxandra Obreja mengemukakan, Digital radio dapat menjadi bagian dari konvergensi cerdas jika kita memberinya kesempatan. http://www.radioworld.com/tech-and-gear/0003/convergence-opportunity-or dead end/ 340626. Sebagai sebuah gagasan konvergensi digital telah muncul paling tidak selama 40 tahun yang dipahami bahwa konvergensi digital merupakan penggabungan multi teknologi menjadi satu. 

Sepintas pandang, digital, teknologi yang digabung (converged technologies) memberi kesempatan kepada 2,5 milyar orang untuk mengakses kepada pengetahuan dunia melalui telpon pintar (smartphone). Bahkan ada yang mengatakan lebih dari itu bahwa sebuah proses, cara baru untuk memahami dan meminang (engange) dunia. Konvergensi digital adalah sebuah label yang disebut berulang-ulang dengan frasa lain yakni revolusi digital, realitas virtual, relitas hybrid, intelegensi artifisial, dll. 

Ini sebuah label yang juga menjadi bagian dari sebuah realitas dimana Generasi Z (mereka yang lahir setelah 1995) sedang menggunakan format digital. Radio telah menjadi atribut konvergesi yang melekat. Radio menciptakan visual radio (VR) atau radio gambar dan audio radio (AR) dalam benak manusia, sepintas didengar dan mudah lupa, sangat lokal, bahkan personal/pribadi, dan radio menggunakan intelegensi nyata bukan tiruan (artifisial) karena radio membangun ramuan terbesar seluruh media: membeberkan cerita (storytelling).

Radio Streaming

Bagaikan berebut pangsa pasar, digital radio nampaknya harus bersaing ketat dengan radio streaming. Kenyataan yang kita saksikan adalah sebagai  broadband tanpa kabel (wireless broadband) yakni proses pengiriman dan penerimaan data melalui sistem jaringan telekomunikasi dengan kecepatan tinggi, khususnya jaringan 4G (fourth generation technology) saat ini semakin luas dan mudah di peroleh. 

Begitu jaringan 4G secara luas terkoneksi dengan  (radio)  mobil, streaming sebagai sebuah metode untuk menyampaikan pelayanan radio dan musik akan semakin meningkat dan menjadi cara utama menikmati konten siaran didalam mobil. Namun demikian, siaran terestrial juga akan terus tetap survivekarena memiliki keunggulan dalam hal jangkauan (coverage) dan kapasitas jaringan, khususnya di kawasan yang jauh (rural areas) di negara-negara tertentu.

Ada sebuah dampak bahwa kapasitas jaringan, khususnya jaringan  seluler akan sangat padat (congested) ketika multi media streaming semakin banyak digunakan. Walaupun mayoritas trafik ini nampaknya berupa video streaming para operator seluler akan menemukan cara untuk memindahkan data multi media streaming kedalam jaringan digital lain, misalnya Wi-Fi dalam terminologi pendek dan menengah.

Diperkirakan ada peningkatan yang stabil, walaupun tidak terlalu spektakuler, jumlah pengguna/pendengar yang mendengarkan radio melalui pesawat penerima FM dalam telepon mereka. 

Namun demikian, hadirnya aplikasi mobile (mobile apps) sekitar sepuluh tahun terakhir membuat orang begitu mudah mendengarkan radio dan menyenangkan, sehingga semakin banyak orang mendengarkan radio melalui telepon seluler. Organisasi/lembaga penyiaran (baca: radio broadcasters) telah 'memeluk' internet dan kebanyakan malakukan interaktif personal. 

Aplikasi merupakan cara yang baik bagi stasiun radio untuk mendekatkan diri pada audiens dan membangun relasi dengan mereka. Dalam 15 tahun terakhir, walaupun perkembangannya lamban, siaran radio cenderung bermigrasi dari siaran analog kedigital dengan sejumlah standard diantaranya DAB, DAB+, T-DMB, DRM and DRM+ di Eropa and Asia, HD Radio di AS s dan  ISDB-TBS di Jepang.

Bukan hanya perkembangan dan pemasaran radio digital di kebanyakan negara terkesan lambat, jumlah penjualan pesawat radio tradisional AM/FM nampaknya juga mengalami penurunan, karena pendengar semakin cenderung mendengarkan radio melalui aplikasi seluler dan internet (online). Walaupun di negara maju, misalnya Inggris penjualan radio digital DAB hingga beberapa tahun lalu (2013) lalu masih stabil, sekitar 1,9 juta unit (https://www.abiresearch.com/blogs/radios-future-broadcast-or-streaming/), penjualan radio analog turun sekitar 1 juta unit dibanding tahun sebelumnya. 

Sebanyak 5,6 juta (pesawat penerima) radio terjual, angka terendah yang pernah dicatat oleh regulator Ofcom, turun dari puncak penjualan yang mencapai 10,4 juta pada tahun 2008.

Data tersebut tercatat di suatu negara maju. Bagaimana di Indonesia? Semoga tulisan ini menjadi pertimbangan bagi radio broadcasters di Indonesia untuk menyusun strategi sehingga dapat bersaing dan menang dalam merebut pendengar. 'Using strategy is how we survive'.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

*Y.Bambang Triyono

Wartawan Utama: 263-WU/DP/VI/2017

Dewan Pers

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun