Mohon tunggu...
Yosepha D
Yosepha D Mohon Tunggu... Mahasiswa - VL-XXI

Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hoax: Siapa Bertanggung Jawab?

1 April 2017   10:11 Diperbarui: 1 April 2017   10:59 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Kebingungan Khalayak karena Informasi yang Berbeda diantara Beberapa Media Sumber Gambar: www.tribunnews.com/

Latar Belakang

Jurnalisme kini banyak merambah ke berbagai bidang. Tidak hanya sebatas berbentuk cetak maupun siar, namun saat ini tiap organisasi media berlomba-lomba dengan jurnalisme online alias jurnalisme daring (dalam jaringan).

Jurnalisme online lahir karena berada dalam era media baru. Media baru terbentuk sebab adanya unsur terpenting, yakni komputer. Menurut Paulsell (1990 dalam Abrar, 2003), komputer merupakan aplikasi sebagai mediator guna mempermudah komunikasi manusia, khususnya secara elektronik.

Perkembangan jurnalisme online memang tak dapat terbendung. Model jurnalisme ini tentunya memberikan dampak positif dan negatif, baik bagi khalayak maupun wartawan. Nilai positifnya, tiap orang memiliki hak untuk mengakses dalam portal berita. Selain itu, wartawan terus akan memperbaharui berita yang ada secara cepat. Tiap orang kini cenderung menginginkan informasi yang banyak, dalam jangka waktu singkat.

Dampak positif terkait kecepatan terbaharuinya berita, terkadang malah menjadi ‘bumerang’ bagi media. Sebabnya, tuntutan kebaharuan berita terkadang membuat wartawan malas atau tidak sempat melakukan verifikasi. Tak heran, jika berita-berita dalam portal berita online terkadang salah. Sayangnya, hal tersebut malah membuat portal berita menurunkan kredibiltasnya, sebab minim akurasi.

Dua jenis jurnalisme, yakni cetak maupun siar tetap tak lepas dari kesalahan. Kualitas penulisnya pun tak main-main, sebab perlu melewati proses panjang untuk terbitnya sebuah berita. Penelitian di Amerika membuktikan, tingkat kesalahan berita media cetak sebesar 18%, sedangkan tingkat kesalahan berita media siar (televisi) menyentuh angka 38% (Hickey, 1999 dalam Abrar, 2003). Angka tersebut tentu membuka peluang, media online dapat mencapai angka yang lebih tinggi dari media siar. Alasannya, proses publikasi berita yang lebih singkat dan tuntutan akan kecepatan memperbaharui berita.


Publik kini sedang gempar dengan merambahnya berita hoax. Sebabnya, hoax hampir ditemui di manapun semenjak memasuki era baru. Hoax mengacu pada penipuan yang sengaja disebarkan, menggambarkan sesuatu yang tidak nyata menjadi tampak nyata, sesuatu yang tidak ada menjadi ada (Huer, 1990).

Kesalahan-kesalahan kecil dalam penulisan berita di media online, terkadang mampu menjadi masalah besar. Khalayak sebagai pembaca akan menganggap info tersebut benar, padahal terjadi kesalahan. Pihak media menyadari atau tidak, sebenarnya perilaku itu membangun berita hoax dalam jurnalisme.

Kupas Hoax Lebih Dalam

Hoax memang kini sedang menggemparkan banyak pihak. Biasanya kabar bohong tersebut tersebar dalam dunia maya, sehingga sering menjadi viral. Hal tersebut sebenarnya tidak akan terjadi, ketika wartawan mengikuti salah satu elemen jurnalistik. Elemen tersebut adalah disiplin verifikasi.

Intisari jurnalisme adalah sebuah disiplin verifikasi. Elemen tersebut secara tegas membedakan jurnalisme dari hiburan, fiksi, dan propaganda. Jurnalisme menekankan pada membeberkan informasi sesuai fakta, tepat seperti apa yang terjadi di lapangan (Kovach & Rosenstiel, 2006).

Seperti salah satu kasus mengenai penangkapan Hakim Mahkamah Konsitusi, Patrialis Akbar. Salah satu media onlinebesar di Indonesia, Tribunnews.com mengatakan bahwa Patrialis Akbar ditangkap di kos mewah. Tak hanya itu, media tersebut bahkan menjelaskan mengenai beragam fasilitas dalam kos mewah tempat Patrialis Akbar ditangkap. Kenyataannya, Patrialis Akbar ditangkap di mal besar Jakarta, Grand Indonesia. Entah dari mana kabar burung tersebut beredar, bahkan kabar yang baru menjadi isu berani dipublikasikan.

Dampaknya tentu saja membingungkan khalayak. Keluputan informasi itu menunjukkan minimnya verifikasi atau memastikan data lapangan ke narasumber terpercaya. Tribunnews.com hanyalah satu dari beberapa media lain yang mengabarkan berita berdasarkan info yang masih simpang-siur. Saat itu, informasi penangkapan di kos mewah masih ramai dibicarakan di media sosial, belum ada konfirmasi resmi dari KPK.

Dewan Pers pun menegaskan kesalahan dalam pemberitaan dapat dikoreksi. Hal tersebut seperti yang tertuang dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber butir ke empat (ralat, koreksi, dan hak jawab). Sebenarnya kesalahan dalam pemberitaan, apalagi dalam media online dapat dimaklumi. Tuntutan wartawan untuk menayangkan beritanya paling cepat, turut berpengaruh besar dalam kesalahan itu.

Menurut Wisnu Prasetya (dalam Remotivi, 2017), timbul dilema antara kecepatan dan akurasi dalam jurnalisme. Di satu sisi, wartawan dituntut untuk cepat mempublikasikan beritanya, namun di lain sisi juga ditekan dalam hal akurasi. Kenyataannya, demi mendapat informasi yang akurat, perlu proses panjang untuk cek dan ricek. Sebaliknya, agar menjadi media pertama yang mampu memberitakan informasi yang sedang ramai dibicarakan, terkadang media merelakan keakuratan beritanya.

Ketika berita yang mengandung kesalahan informasi telah ditelah mentah-mentah oleh khalayak, maka akan terjadi guncangan situasi. Media mainstream lama-kelamaan akan menjadi sumber berita hoax, padahal selama ini khalayak menganggap informasi yang diberitakan benar adanya.

Direktur Australian Broadcasting Corporation (ABC), Mark Scott berpendapat bahwa reputasi media dapat merosot hanya karena mempublikasikan berita dengan peristiwa yang sama berulang-ulang. Ralat yang acapkali dilakukan, mampu menurunkan kredibilitas otomatis rasa percaya khalayak terhadap media itupun menurun. Hanya tinggal menunggu waktu, maka perlahan namun pasti khalayak pun akan meninggalkan media tersebut (Kellie Riordan, 2014 dalam Wisnu, 2017).

Berita yang disebarkan oleh portal berita, ketika salah berarti dapat dikatakan mengandung unsur hoax, baik disengaja ataupun tidak. Dalam konteks Indonesia, tingkat literasi warganya masih rendah. Pada 2012, Indonesia berada di peringkat 60 dengan nilai 396 diantara 65 negara sebagai peserta khusus kategori membaca. Kategori tersebut termasuk memahami, menggunakan, dan merefleksikan dalam bentuk tulisan. Data tersebut berdasarkan penelitian yang dilaksanakan Programme for International Student Assessment atau dikenal PISA (Tirto.id, 2016).

Suatu informasi yang disebarkan dari mulut ke mulut, dampaknya dapat berakibat fatal. Paparan data di atas menunjukkan, bahwa banyak warga Indonesia belum mampu memahami informasi dalam bentuk tulisan. Proses verifikasi atau cek dan ricek berdasarkan kesadaran individu pun masih minim.

Kesalahan dalam konten berita biasanya akan disikapi dengan permintaan maaf, beserta penjelasan revisi di bagian yang salah. Permintaan maaf dapat mencerminkan kedewasaan, bahwa sebuah kesalahan memang patut diperbaiki.

Ketika khalayak juga merasa dikhianati oleh pemberitaan bohong ini, maka hubungan antara wartawan (media) dan pembaca akan memburuk. Kredibilitas media juga menurun. Organisasi media wajib untuk menyampaikan permohonan maaf dan mencoba membangun kembali kepercayaan khayak. Caranya dengan melakukan pembingkaian hoax sebagai suatu ‘kecelakaan’ dan tidak akan terjadi lagi dalam ruang redaksi media (Peters & Broersma, 2013).

Dilansir dari Tempo.co, pada awal tahun 2016, Dewan Pers menegaskan terdapat sekitar 2.000 media online di Indonesia. Jumlah yang terverifikasi hanyalah sebagian kecil, yakni 211 media layak (Mardjianto, 2016).

Data-data tersebut menunjukkan, lebih banyak media tidak terverifikasi, lantas kepada siapa khalayak harus percaya? Sebenarnya persoalan ini dapat teratasi, ketika masyarakat kita mampu melakukan verifikasi secara mandiri. Berita yang diterima tidak langsung ditelan begitu saja, namun juga dicek keabsahannya dengan membandingkan informasi dengan berita dari media lainnya.

Berita yang mengandung kesalahan informasi dan telah terlanjur disebar, maka secara tak langsung sebenarnya telah mengabarkan hoax pada khalayak. Hal tersebut adalah salah satu tantangan yang telah dibahas, namun ternyata terdapat tantangan lain terkait hoax bagi para media.

 Tantangan lain bagi media, wartawan perlu berjuang melawan ‘wartawan abal-abal’, penyebar berita hoax. Berita hoax, ternyata membangun jaringan bisnis tersendiri bagi para pengelolanya. Hal tersebut amat mencederai profesi seorang wartawan. Berita hoax menebar kebohongan dan kebencian, sehingga menimbulkan perpecahan antar lapisan masyarakat. Selain itu, media sosial pun makin berkembang. Medium itulah yang menjadi sarana penyebaran berita hoax(Stanley, 2017 dalam Tirto.id, 2017). Seakan-akan dibuat dari sumber terpercaya, sebaliknya informasi di dalamnya hanyalah karangan belaka.

Permasalahan hoax ini dapat disikapi dengan menuntut keaktifan dari dua pihak, yakni media dan khalayak. Wartawan memang harus rajin untuk verifikasi fakta atau data-data ke lapangan, terus lakukan cek dan ricek. Khalayak sebaiknya juga perlu mengkritisi berita yang dibacanya. Mereka berhak melakukan perbandingan data antara satu media dengan media lainnya. Secara tak langsung, kegiatan tersebut juga bentuk verifikasi. Kedua hal tersebut dapat dilakukan dan bersinergi, sehingga mampu menangkal atau setidaknya memperlambat laju perkembangan berita hoax.

Kesimpulan

Jurnalisme online kini bak menjadi candu bagi banyak orang. Khalayak menginginkan bacaan yang banyak dan lengkap, pada saat yang hampir bersamaan. Keinginan khalayak itulah menjadi salah satu tuntutan wartawan untuk memperbaharui berita dengan asas kecepatan.

Media online, sama seperti media cetak maupun siar tentu tak luput dari kesalahan. Permasalahan klasik, ketika kecepatan beradu dengan akurasi. Wartawan yang mengedepankan kecepatan, acapkali tak luput dari masalah akurasi. Sebaliknya, tahap akurasi perlu melalui proses yang lebih panjang, sehingga tuntutan kecepatan terkadang menjadi hambatan.

Di lain sisi, berita hoax sedang marak dan menggemparkan banyak pihak. Wartawan yang tidak rajin melakukan verifikasi, akan menyebarkan berita hoax juga baik disengaja ataupun tidak. Hal tersebut akan menjebak wartawan dalam penyebaran berita bohong pada khalayak. Hasilnya, khalayak pun kebingungan terhadap informasi yang berbeda antara satu media dengan media lainnya.

Kondisi Indonesia saat ini, masyarakat akan cenderung menelan berita mentah-mentah. Rendahnya angka literasi membaca di Indonesia membuktikan dan mendukung fenomena itu. Dampaknya besar, bahkan memecah-belah masyarakat.

Media onlineyang telah melakukan kesalahan dalam pemberitaannya, perlu melakukan koreksi dan permohonan maaf. Hal ini demi mengembalikan kepercayaan pembaca. Peraturan mengenai koreksi tersebut, sesuai dengan pedoman pemberitaan media siber oleh Dewan Pers, khususnya butir ke empat. Butir tersebut menjelaskan secara rinci mengenai ralat, koreksi, dan hak jawab media online.

Tantangan wartawan tak hanya menangkal berita hoax dengan membeberkan berita yang absah, demi menjaga kredibilitasnya. Media yang terverifikasi perlu melawan hoax dari para ‘wartawan abal-abal’ dengan cek dan ricek, tidak memanfaatkan data dari media sosial. Media sosial merupakan sumber berita hoax tersebar.

Permasalahan untuk mencegah berita hoax makin berkembang, khalayak juga perlu terjun dengan meningkatkan literasinya terhadap bacaan. Mereka perlu memaknai bacaan dengan cek dan ricek pula dari beberapa media berkredibilitas tinggi. Tak hanya satu media yang dicerna, namun beberapa media untuk membandingkan satu informasi dengan informasi lainnya. Ketika terdapat perbedaan informasi, maka perlu mengecek data dengan mencari kepastian dari media-media terverifikasi lainnya.

Hoax, berita bohong yang efeknya buruk dan fatal bagi kemajuan bangsa. Kalau begini, siapa yang patut disalahkan? Siapa yang perlu bertanggung jawab? Wartawan (pembuat berita yang penting cepat) atau khalayak (terlalu mudah percaya)? Hanya Anda yang dapat bersikap menentukan pilihan itu.

Sumber Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun