Mohon tunggu...
Yosepha D
Yosepha D Mohon Tunggu... Mahasiswa - VL-XXI

Sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hoax: Siapa Bertanggung Jawab?

1 April 2017   10:11 Diperbarui: 1 April 2017   10:59 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Kebingungan Khalayak karena Informasi yang Berbeda diantara Beberapa Media Sumber Gambar: www.tribunnews.com/

Seperti salah satu kasus mengenai penangkapan Hakim Mahkamah Konsitusi, Patrialis Akbar. Salah satu media onlinebesar di Indonesia, Tribunnews.com mengatakan bahwa Patrialis Akbar ditangkap di kos mewah. Tak hanya itu, media tersebut bahkan menjelaskan mengenai beragam fasilitas dalam kos mewah tempat Patrialis Akbar ditangkap. Kenyataannya, Patrialis Akbar ditangkap di mal besar Jakarta, Grand Indonesia. Entah dari mana kabar burung tersebut beredar, bahkan kabar yang baru menjadi isu berani dipublikasikan.

Dampaknya tentu saja membingungkan khalayak. Keluputan informasi itu menunjukkan minimnya verifikasi atau memastikan data lapangan ke narasumber terpercaya. Tribunnews.com hanyalah satu dari beberapa media lain yang mengabarkan berita berdasarkan info yang masih simpang-siur. Saat itu, informasi penangkapan di kos mewah masih ramai dibicarakan di media sosial, belum ada konfirmasi resmi dari KPK.

Gambar 1. Kebingungan Khalayak karena Informasi yang Berbeda diantara Beberapa Media Sumber Gambar: www.tribunnews.com/
Gambar 1. Kebingungan Khalayak karena Informasi yang Berbeda diantara Beberapa Media Sumber Gambar: www.tribunnews.com/
Dewan Pers pun menegaskan kesalahan dalam pemberitaan dapat dikoreksi. Hal tersebut seperti yang tertuang dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber butir ke empat (ralat, koreksi, dan hak jawab). Sebenarnya kesalahan dalam pemberitaan, apalagi dalam media online dapat dimaklumi. Tuntutan wartawan untuk menayangkan beritanya paling cepat, turut berpengaruh besar dalam kesalahan itu.

Menurut Wisnu Prasetya (dalam Remotivi, 2017), timbul dilema antara kecepatan dan akurasi dalam jurnalisme. Di satu sisi, wartawan dituntut untuk cepat mempublikasikan beritanya, namun di lain sisi juga ditekan dalam hal akurasi. Kenyataannya, demi mendapat informasi yang akurat, perlu proses panjang untuk cek dan ricek. Sebaliknya, agar menjadi media pertama yang mampu memberitakan informasi yang sedang ramai dibicarakan, terkadang media merelakan keakuratan beritanya.

Ketika berita yang mengandung kesalahan informasi telah ditelah mentah-mentah oleh khalayak, maka akan terjadi guncangan situasi. Media mainstream lama-kelamaan akan menjadi sumber berita hoax, padahal selama ini khalayak menganggap informasi yang diberitakan benar adanya.

Direktur Australian Broadcasting Corporation (ABC), Mark Scott berpendapat bahwa reputasi media dapat merosot hanya karena mempublikasikan berita dengan peristiwa yang sama berulang-ulang. Ralat yang acapkali dilakukan, mampu menurunkan kredibilitas otomatis rasa percaya khalayak terhadap media itupun menurun. Hanya tinggal menunggu waktu, maka perlahan namun pasti khalayak pun akan meninggalkan media tersebut (Kellie Riordan, 2014 dalam Wisnu, 2017).

Berita yang disebarkan oleh portal berita, ketika salah berarti dapat dikatakan mengandung unsur hoax, baik disengaja ataupun tidak. Dalam konteks Indonesia, tingkat literasi warganya masih rendah. Pada 2012, Indonesia berada di peringkat 60 dengan nilai 396 diantara 65 negara sebagai peserta khusus kategori membaca. Kategori tersebut termasuk memahami, menggunakan, dan merefleksikan dalam bentuk tulisan. Data tersebut berdasarkan penelitian yang dilaksanakan Programme for International Student Assessment atau dikenal PISA (Tirto.id, 2016).

Suatu informasi yang disebarkan dari mulut ke mulut, dampaknya dapat berakibat fatal. Paparan data di atas menunjukkan, bahwa banyak warga Indonesia belum mampu memahami informasi dalam bentuk tulisan. Proses verifikasi atau cek dan ricek berdasarkan kesadaran individu pun masih minim.

Kesalahan dalam konten berita biasanya akan disikapi dengan permintaan maaf, beserta penjelasan revisi di bagian yang salah. Permintaan maaf dapat mencerminkan kedewasaan, bahwa sebuah kesalahan memang patut diperbaiki.

Ketika khalayak juga merasa dikhianati oleh pemberitaan bohong ini, maka hubungan antara wartawan (media) dan pembaca akan memburuk. Kredibilitas media juga menurun. Organisasi media wajib untuk menyampaikan permohonan maaf dan mencoba membangun kembali kepercayaan khayak. Caranya dengan melakukan pembingkaian hoax sebagai suatu ‘kecelakaan’ dan tidak akan terjadi lagi dalam ruang redaksi media (Peters & Broersma, 2013).

Dilansir dari Tempo.co, pada awal tahun 2016, Dewan Pers menegaskan terdapat sekitar 2.000 media online di Indonesia. Jumlah yang terverifikasi hanyalah sebagian kecil, yakni 211 media layak (Mardjianto, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun