Circular economy atau ekonomi sirkular adalah konsep pembangunan berkelanjutan yang mendorong pemanfaatan ulang sumber daya, pengurangan limbah, dan perpanjangan umur barang. Di Indonesia, konsep ini mulai banyak diterapkan di lingkungan masyarakat, salah satunya melalui program-program seperti bank sampah, agroforestri, dan pertanian urban. Namun, bagaimana jika konsep ini diterapkan dalam kehidupan petani tradisional yang selama ini masih mengandalkan pola ekonomi linear?
Salah satu contoh nyata circular economy di Indonesia adalah program Agroforestri di kawasan pedesaan seperti di Gunung Kidul dan di Lombok Timur. Dalam sistem ini, petani tidak hanya menanam satu jenis tanaman saja, tetapi mencampur tanaman keras seperti pohon buah dan kayu dengan tanaman pangan musiman. Selain menjaga kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati, model ini juga membantu petani memiliki sumber pendapatan yang lebih stabil sepanjang tahun.
Dampaknya terhadap ekonomi lokal sangat signifikan. Petani tidak perlu terus-menerus membeli pupuk atau pestisida kimia karena siklus alami dari keberagaman tanaman sudah cukup menjaga ekosistem. Dari sisi lingkungan, penggunaan kembali limbah organik sebagai pupuk kompos mengurangi polusi yang padat dan meningkatkan kualitas tanah. Sedangkan secara sosial, kolaborasi antarwarga dalam mengelola kebun kolektif atau bank kompos memperkuat gotong royong dan solidaritas komunitas didalam Masyarakat kampung.
Namun, tantangan masih ada. Banyak petani tradisional yang belum familiar dengan istilah circular economy. Di sinilah pentingnya pendekatan refleksi dan adaptasi lokal terhadap petani tradisional. Circular economy tidak harus diadopsi secara utuh dari luar, tetapi bisa dimodifikasi agar selaras dengan praktik-praktik tradisional yang sudah ada sebelumnya. Contohnya, praktik "tumpangsari" yang sudah lama dilakukan petani Jawa sebenarnya merupakan bentuk agroforestri lokal yang berbasis keberlanjutan.
Dengan demikian, circular economy bisa diadopsi dalam ekonomi petani tradisional dengan menjembatani pengetahuan modern dan kearifan lokal. Pendampingan yang tepat, pelatihan teknis sederhana, dan dukungan dari pemerintah desa dapat mempercepat dan mempermudah proses integrasi ini bagi para petani tradisional.
Di akhir, penting untuk disadari bahwa circular economy dan ekonomi petani tradisional sebenarnya saling melengkapi satu sama lain. Keduanya mengedepankan prinsip efisiensi sumber daya dan harmoni dengan alam. Circular economy bisa menjadi kunci dalam pembangunan berkelanjutan desa jika dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan menghormati budaya lokal yang sudah ada sebelumnya.
Kini, pertanyaannya kembali kepada kita: apa langkah kecil yang bisa kita mulai? Apakah itu memilah sampah rumah tangga, mengkompos limbah dapur, atau mendukung produk lokal hasil pertanian lestari? Semua langkah kecil itu, jika dilakukan bersama, bisa menjadi bagian dari gerakan besar menanam masa depan Indonesia yang Lestari untuk kita semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI