"Mas Hadi, terima kasih." mata Rika tampak berkaca-kaca. Sementara Utari menatap kedua orang itu dengan perasaan bahagia. Dia merasakan tangannya digenggam oleh Bagus di bawah meja.
"Kalau begitu niat baik ini, rasanya tidak perlu ditunda-tunda lagi, bukan?" usul Bagus Pandhita sepertinya disambut baik oleh Pak Hadi.
"Menurut kamu gimana, Dek Rika? Kapan tepatnya saya bisa membawa kamu ke KUA?"
"Ri, menurut kamu gimana? Apa perlu kita nunggu Masmu cuti dulu?" Rika tampak meminta pertimbangan anak gadisnya.
"Mbak Anti sekarang sedang mengandung tujuh bulan. Takutnya terjadi apa-apa kalo ngelakuin perjalanan jauh. Sementara Mas Dewo juga sibuk dengan pekerjaannya."
"Mama juga sebenarnya udah ngomong juga sama Anti. Dia nggak keberatan, kalo misal Mama menikah tanpa kehadiran mereka."
"Lagipula, nanti Mama dan Pak Hadi bisa ngunjungin mereka sekalian silaturakhmi. Ehm, bulan madu juga?"
"Ah! Kamu itu, ada-ada saja." Rika terlihat salah tingkah.
Ruang makan itu terasa hangat, ketika mereka tertawa bersama. Seperti juga Utari yang merasa jika sekarang dia seperti menemukan kembali sosok seorang Ayah. Keluarganya seperti lengkap kembali.
Melihat rona bahagia di wajah sang Mama, membuat Utari dilanda keharuan. Selama ini, dia lebih dekat dengan almarhum Eyangnya. Meski Rika memiliki dua orang anak, namun baik Antari maupun Utari, keduanya tinggal saling berjauhan.
"Menurut kamu, ini nggak kecepeten?" Rika menerima piring yang baru dibilas oleh Utari. Mereka sudah selesai makan malam, dan sedang mencuci piring sisa makan. Sementara kedua pria itu, sudah asyik berbincang di ruang tengah.