"Kamu nggak pengin pergi ke hutan lagi?" sesaat Utari tertegun ketika bibir Bagus tiba-tiba singgah di bibirnya, "ada sisa sambal di sana. Makan kok belepotan gitu."
"Ih! Mas Bagus modus banget!" Utari menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. Sebal sekaligus senang. Apalagi ketika Bagus tertawa renyah, entah mengapa pria itu seperti lebih muda di matanya.
"Daripada liburan ke Bali atau tempat lain, emang lebih asyik kayaknya ngabisin waktu berdua dengan bertani bunga di sana."
"Beneran nggak takut? Siapa tau di sana beneran ada binatang buas."
"Binatang buas? Mana ada, Mas. Lah, binatang buasnya kan lagi ada di sini, lagi makan ayam pepes dan sambel terasi dengan sangat lahap."
"Kamu itu, sembarangan!"
Utari tergelak riang. Selebihnya makan siang itu terasa sangat lezat, meski dengan menu yang sangat sederhana. Bahkan Bagus ikut mencucikan piring di dapur, begitu Utari membereskan sisa makan mereka.
Bu Marsih sudah diusir sementara waktu oleh Utari. Wanita itu disuruh pulang, dan baru boleh kembali jika hari sudah sore.
Utari menyajikan lemon tea dingin, beserta camilan berupa seriping pisang. Bagus Pandhita sedang berada di ruang tengah, sambil menyalakan televisi. Pria itu akan kembali ke kantor jam satu, begitu jam istirahat sudah habis.
"Mas, kalo misalnya Mas Bagus sudah tidak menjabat lagi. Emang kita mau tinggal di rumah Ibu?" Utari menjatuhkan kepalanya di paha Bagus sebagai bantalan, begitu dia sudah mengambil tempat di samping pria itu.
Tangan Bagus Pandhita membelai rambut Utari yang tergerai indah dan beraroma apel. Matanya masih fokus ke layar berwarna di depan sana.