"Aku bersyukur karena Mama dulu suka cerewet, agar aku membantu masak di dapur. Tidak sia-sia ya, karena bisa masak itu memang berguna banget setelah menikah."
"Terima kasih, ya. Mas nggak ngira kalo Riri ternyata pinter masak juga."
"Iya, dong." senyum Utari bangga.
"Nanti malam ada acara ruwat bumi. Ada pertunjukan wayang semalam suntuk di desa Watu Giri dan Mas nggak enak kalo nggak datang."
"Ehm, ngomong aja pengin liatin Mbak Windri nembang!" sindir Utari sambil mencuil udang di dalam cah kangkung.
"Kalo kamu mau ikut, Mas malah seneng." Bagus tahu, Utari tak lagi memendam kecurigaan terhadap hubungannya dengan Windri.
"Nggak mau, ah! Capek! Aku mau tidur lebih awal aja." Utari tidak berani menatap wajah Bagus. Pria itu pasti sedang memandangnya dengan tatapan sepanas bara, bahkan sambel di depannya mungkin kalah panas.
"Mas hanya sebentar, kok. Paling nggak sampe larut."
Lalu apa maksudnya berbicara seperti itu? Pipi Utari langsung memerah, mengingat malam indah kemarin yang mereka lalui bersama. Meski dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan sang suami, tapi tugas menumpuk nyatanya menunggu Bagus.
"Mas, Riri ngerti kok situasi kita. Jangan khawatir, Riri akan selalu setia nunggu Mas Bagus, kok."
Sejak kapan aku jadi genit begini?