Utari menatap mata kelam Bagus yang tengah memandangnya. Sekarang jantungnya kembali berdentam tidak normal, "Mayang, juga bilang gitu."
"Bikin cemas orang, kok nggak kira-kira!"
"Katanya Mas nggak cemas. Yang khawatir kan, cuma Pak Uyun!"
"Kamu memang harus diberi hukuman biar jera!" kedua tangan Bagus meraih belakang kepala Utari. Gadis itu tidak sempat menghindar, ketika bibir pria itu mulai menempel di atas bibirnya.
Bagus melabuhkan sebuah ciuman yang hangat dan menuntut, hingga membuat kedua lutut Utari gemetar. Bibir Bagus mencecap dengan lembut, seakan dia ingin merasakan rasa Utari secara perlahan. Dunia seakan berhenti berputar di sekitar mereka.
Tangan Utari mencengkeram erat lengan Bagus. Jantungnya seperti akan meledak mendapati kelembutan suaminya. Ciuman itu begitu berbeda dari yang sebelumnya. Ciuman itu begitu menuntut, seperti dipenuhi dengan berjuta kerinduan dan keputus asaan.
Utari merasa dirinya seperti melayang di atas pelangi. Begitu banyak kebahagiaan di sana, dan begitu banyak harapan yang terbang bersamanya. Sekarang dia menyadari, jika hatinya bahkan mendambakan yang lebih dari sekedar sentuhan bibir mereka.
"Berjanjilah kepadaku, untuk jangan menghilang lagi. Aku seperti sudah tidak bisa bernapas, memikirkanmu sendirian di luar sana." Bagus Pandhita menempelkan kening mereka, begitu melepaskan bibirnya.
"Aku tidak akan melakukannya lagi, asal Mas lebih perhatian lagi kepadaku!"
"Apa ini masih mengenai Windri?"
"Memangnya ada makhluk lain yang lebih mengasyikkan untuk menemani ngobrol di hari Minggu?"