"Kamu tidak perlu melakukan itu, aku akan membantumu. Percayalah, aku tidak akan memaksamu untuk sesuatu yang belum ingin kamu lakukan." Bagus Pandhita menahan kedua bahu Utari, ketika gadis itu hendak beranjak meninggalkan kursi.
Utari menatap kedua mata Bagus yang juga tengah memperhatikan dari kaca rias. Pria itu tersenyum menenangkan. Bola mata hitamnya tampak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Utari tidak takut, hanya saja dia masih jengah dengan status mereka yang kini sudah berubah.
"Aku---aku hanya takut tidak bisa melakukan amanat ini." Utari menundukkan pandangan. Jemarinya memainkan ujung kain jarik yang dikenakan.
"Maafkan aku, jika sudah terlalu memaksamu." Bagus duduk di tepi meja, dia meraih kedua tangan Utari dan menggenggamnya dengan erat.
"Tidak. Bukan seperti itu. Hanya saja aku masih tidak percaya, jika takdir memilih diriku untuk menemani kehidupan Mas."
"Aku sendiri tidak terlalu percaya diri, karena istriku masih begitu muda. Aku sudah berumur, dan mungkin tidak bisa melakukan hal romantis seperti pria seusiamu kepada pasangannya."
"Itu bukan seperti diri, Mas Bagus."
"Oh, ya? Memangnya seperti apa diriku ini di matamu?"
Seperti apa? Berpikir Utari!
Utari menatap pertautan tangan mereka, yang entah mengapa justru menenangkan hatinya. Genggaman erat jemari Bagus, terasa begitu hangat dan seolah membuang semua kekhawatiran dalam diri Utari. Pria itu tidak membuat Utari gelisah, sebaliknya dia merasa dirinya begitu terlindungi. Entah karena apa.
"Mas lebih dari orang yang baik. Mas memiliki pribadi yang menyenangkan, hingga rasanya sangat sulit menolak kehadiran Mas di manapun."