Utari sudah hendak keluar dari toilet, ketika tanpa sengaja telinganya  mendengar percakapan beberapa pegawai wanita. Tangannya yang mulai gemetar, mengunci pintu itu kembali dengan susah payah.
"Dia memang murahan, kan? Tampang aja polos gitu, tapi siapa yang ngira kalo hatinya busuk banget!" seorang pegawai berkata dengan penuh kebencian.
"Si Utari emang cewek kegatelan! Semua pegawai pria di sini aja kena sama rayuannya. Tebar pesona setiap saat, dikira di sini Kalijodo kali, ya!"
"Tapi sekarang dia kena batunya! Kasian bener ya, masuk koran tapi gara-gara berita memalukan kayak gitu. Amit-amit deh!"
"Salah sendiri! Dia pasti rela melemparkan dirinya ke pelukan Pak Bagus hanya demi Bapak membalas cintanya yang nyatanya bertepuk sebelah tangan."
"Dia pikir mudah mendapatkan hati Pak Bagus? Dasar gadis labil! Tampang lumayan sih, tapi otaknya ternyata di dengkul, ya. Pak Bagus itu tidak selevel dengan dia, kalau sama Bu Puspa atau Mbak Windri bolehlah disandingkan."
"Kasian dia! Sebentar lagi pasti dia akan di mutasi. Aku berharap secepatnya, karena aku tidak mau dia menggoda Pak Rio! Aku selalu gagal mendekatinya, gara-gara cewek sialan itu!"
Utari mengenal tiga wanita itu sebagai staf bagian kearsipan. Lintang, Windu, dan Agnes, tiga wanita yang selalu bermuka ramah bila berhadapan dengannya. Siapa yang mengira, jika mulut mereka begitu pedas membakar. Berkali-kali Utari menarik napas panjang, demi untuk membebaskan dadanya yang terasa sesak. Dia sudah ingin keluar dari persembunyian, dan menerjang ketiga wanita itu.
Sayang, akal sehat masih menjaganya. Utari tidak ingin memperkeruh suasana. Biarkan saja semua orang menganggapmu rendah, yang penting aku mengetahui dirimu yang sesungguhnya. Ucapan Bagus Pandhita masih terngiang di telinga Utari. Dia tidak mau meladeni apapun pemikiran orang tentangnya, dan pernikahan itu akan membuktikan semua.
Untung saja, sisa hari itu dapat dilalui Utari tanpa harus banyak berinteraksi dengan orang lain. Dia harus mengedit laporan bulanan, dan harus segera selesai. Dia bahkan pulang lebih sore dari yang lain. Sementara Mayang kelihatannya tidak ingin mengungkit-ungkit lagi, pertanyaan yang belum dijawab oleh gadis itu.
"Mau pulang jam berapa Mbak Riri?" Pak Wisnu yang sudah menenteng tas, berdiri di ambang pintu ruangannya.