"Aku menginginkan seorang istri yang setiap saat dapat kulihat dan kusentuh. Wanita yang akan selalu memberiku senyum tiap kali aku pergi dan pulang bekerja. Wanita yang mau menyiapkan masakan kesukaanku, dan bersedia aku peluk setiap malam."
Pipi Utari memerah begitu Bagus Pandhita menyelesaikan ucapannya. Bukankah dia wanita yang sangat beruntung? Pria itu tidak memiliki harapan muluk kepadanya, sesuatu yang pasti mampu diwujudkan oleh Utari. Entah mengapa, hatinya seketika diliputi perasaan haru.
Utari sudah lama kehilangan sosok Ayah, dan gadis itu seperti menemukan kembali pengayom dalam hidup. Bagus Pandhita tidak pernah benar-benar marah kepadanya. Sekesal apapun pria itu kepadanya, dia selalu memberi Utari rasa nyaman. Gadis itu juga menyadari, jika dirinya memang masih kekanakan. Dia tidak akan pernah berpikir dewasa, jika memiliki pasangan seumuran dengannya.
"Tapi aku bukan wanita sempurna. Aku manja, kolokan, tidak memiliki kehidupan membanggakan, dan aku hanya wanita biasa. Aku---" Utari tidak meneruskan ucapan, ketika telunjuk Bagus sudah berada di depan bibirnya.
"Kamu tahu, itu saja bagiku sudah sangat cukup." senyum Bagus dengan sorot mata teduh, hingga Utari sangat ingin menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan pria itu.
"Aku akan berusaha belajar agar layak untuk Bapak. Mulai sekarang, aku akan berusaha menerima hubungan ini."
Bagus Pandhita mengusap pipi Utari dengan lembut, "Jangan pernah mengubah dirimu menjadi orang lain, karena aku akan sangat tidak suka. Tetaplah menjadi dirimu seperti ini, karena aku menyukaimu apa adanya."
Pria itu mendekatkan wajahnya, hingga tubuh Utari kaku tak bisa digerakkan. Tangan pria itu mengangkat dagu Utari, kemudian dengan lembut melabuhkan sebuah ciuman di atas bibir gadis itu. Hanya sebuah kecupan kecil, namun dilakukan dengan lembut dan penuh perasaan. Darah Utari seketika berdesir, sementara tubuhnya menggigil merasakan daging kenyal itu memagut bibirnya yang gemetar.
"Jadi akulah si pencuri ciuman pertamamu. Itu sebabnya aku memang harus menikahimu." Bagus Pandhita melepaskan bibirnya setelah beberapa lama, bahkan Utari belum sempat membalas.
"Bapak memang harus bertanggung jawab!" Utari berseru kesal, sementara embusan napasnya terdengar memburu. Ya Tuhan, bahkan untuk beberapa saat lalu, Utari lupa caranya bernapas.
"Pipimu merona, dan aku sangat suka melihatnya," gelak Bagus Pandhita yang langsung dibalas timpukan tas gadis itu di lengannya.