"Bapak memang menyebalkan!" Utari mengacak rambutnya dengan kesal.
"Akan lebih baik kita menikah secepatnya, atau memang kamu lebih menyukai para wartawan mengejar-ngejarmu setiap hari?"
"Kenapa harus sesulit ini?"
"Semua tidak akan sulit, jika kamu menuruti ucapanku."
Utari tidak ingin membantah. Setelah pertunangan, lambat laun Bagus Pandhita pasti akan menikahinya. Namun semua masih terasa sangat berat baginya. Mencintai pria itu mungkin bukan hal sulit, namun dia belum siap membina rumah tangga.
"Jika kita menikah, bagaimana dengan Windri?" Utari menahan napas ketika pertanyaan itu akhirnya terlontar juga. Mata gadis itu menatap pria itu, yang berdiri menjulang di sebelahnya.
Sesaat, Bagus Pandhita tampak terkejut. Namun dengan cepat, dia sudah menyembunyikan perasaannya begitu rapi. Dia kemudian duduk di samping Utari, meraih satu tangan gadis itu dan menggenggamnya.
"Inikah yang membuatmu marah kepadaku?" tebak Bagus telak.
Utari mencoba menarik tangannya, namun Bagus tidak mengizinkan, "Bapak tinggal menjawab pertanyaanku saja!"
"Aku hanya menganggap dia sebagai teman diskusi yang asyik, tidak lebih. Aku memang menganguminya, namun tidak pernah lebih."
"Sungguh?" Utari tidak mampu menutupi nada getir dalam ucapannya. Dia tahu, rasa kagum Bagus Pandhita yang tidak biasa pada waranggana cantik itu. Rasa kagum yang tidak pernah ditunjukkan pria itu kepadanya, meski mereka akan menjadi sepasang suami istri.