"Kamu itu kenapa, Ri? Pulang-pulang kok, mukanya jutek begitu?" Rika menatap heran pada Utari yang masih cemberut sedari memasuki rumah.
"Nggak kok, Ma. Riri mau jalan lagi ya, mau beli sabun mandi sama bedak, nih." Utari segera berlari ke dalam kamar, meninggalkan Rika yang masih diluputi tanda tanya.
Sementara Utari sudah sibuk mencopot semua pakaian, lalu menggantinya dengan kaos ketat dan celana jeans panjang. Gadis itu juga mengikat tinggi-tinggi rambutnya, dan memperbaiki riasan di wajahnya. Setelahnya, dia memeriksa isi dompet, lalu menyambar tas selempang kecil yang tersampir di belakang pintu.
"Ma, Riri pergi dulu, ya." Utari menyalami mamanya cepat, kemudian seperti setengah melayang menuju halaman rumah.
"Ri, ganti baju kamu! Kamu nggak boleh pakai baju seperti itu!" teriak Rika yang tentu saja tidak digubris oleh Utari. Begitu sudah mengenakan helm, gadis itu segera melarikan motornya dengan kekuatan penuh.
Sebenarnya apa arti diriku bagi dia?
Berkali-kali Utari menarik napas panjang. Dadanya terasa demikian sesak, seperti ribuan ton batu bersarang di sana. Ulu hatinya terasa perih, seperti tersayat sembilu. Seharusnya dia tidak bersikap cengeng, namun diundang untuk diabaikan rasanya terlalu menyakitkan.
Bagus Pandhita sendiri yang menyuruhnya datang pada hari Minggu. Pria itu sendiri yang ingin melihatnya bermain gamelan. Meski harus mengorbankan waktu tidurnya yang berharga, Utari menuruti demi masa depan mereka. Dia rela bangun pagi, dan mengitari Alun-alun kota.
Pria itu datang, namun ada Windri dan beberapa orang lain mengikuti. Bagus Pandhita menyapanya, dan mengajak Utari untuk ikut bersama ke rumah. Namun Utari menyesali keputusannya itu. Terlebih di sana juga ada Puspa Ayu, yang menyambut kedatangan Bagus dengan ceria.
Yang lebih menyakitkan, Bagus Pandhita tampak asyik berbicara dengan Windri. Mereka bersikap seolah yang lain hanya menumpang di dunia ini. Bahkan para penabuh gamelan itu seakan mengerti dengan keadaan itu, kecuali Puspa Ayu tentunya. Wanita itu jelas tidak menyukai kedekatan Bagus Pandhita dan Windri Asih.
Utari memasuki area sebuah Mall besar di tengah kota, satu-satunya Mall milik keluarga Rekshananta. Utari tidak peduli, karena tidak mungkin sang pemilik berada di sana. Dia langsung masuk ke dalam lift yang terbuka, menuju lantai paling atas.