Keempat, makan dan minum dengan bijak
Saya membeli air mineral. Tidak kopi. Tidak soda. Saya tahu, kafein hanya akan membuat saya makin gelisah. Saya juga tidak tergoda dengan makanan cepat saji yang berjejer di sisi kiri terminal. Saya keluarkan kacang-kacangan dari tas kecil saya. Saya kunyah perlahan. Tidak terlalu kenyang, tapi cukup. Saya tidak ingin merasa lesu atau malah mual di tengah ketidakpastian ini. Ternyata, menyayangi tubuh di tengah kekacauan adalah bentuk kecil dari perlawanan.
Kelima, siapkan yang bisa disiapkan
Di dalam tas saya ada buku. Ada earphone. Ada power bank. Saya tidak membawanya karena tahu akan ada delay. Tapi hari itu saya bersyukur saya membawanya. Buku menjadi pelarian. Musik menjadi pelipur. Dan baterai menjadi penyambung nyawa gawai. Saya juga membawa selimut kecil. Saat udara mulai dingin, saya tidak menggigil. Saya merasa siap. Mungkin tidak sepenuhnya. Tapi cukup untuk tidak merasa hancur.
Keenam, tenangkan pikiran dengan hal menyenangkan
Saya menulis di jurnal. Tentang kekesalan. Tentang harapan. Tentang orang-orang yang saya lihat. Saya juga mencoba meditasi sederhana. Tarik napas, tahan, hembuskan. Ulangi. Saya menutup mata. Mendengarkan suara sekitar. Lalu memfokuskan diri pada detak jantung saya. Tidak lama. Lima menit. Tapi cukup untuk membuat saya merasa masih hidup, masih bernapas, dan itu saja sudah cukup.
Ketujuh, tahu hak dan bersikap wajar
Saya tahu ada regulasi soal keterlambatan. Saya tahu, jika keterlambatan mencapai durasi tertentu, ada kompensasi. Saya tanyakan, dan staf maskapai memberitahu dengan ramah. Saya catat. Saya tidak menuntut lebih. Tapi saya tidak diam juga. Hak tetap harus diketahui, agar tidak diinjak. Tapi saat menyampaikannya, saya berusaha tetap tenang. Karena marah tidak membuat pesawat lebih cepat datang. Tapi bisa membuat hati makin rusak.
Delay bukan cerita baru. Tapi setiap delay adalah cerita baru. Ada yang kehilangan janji penting. Ada yang batal bertemu keluarga. Ada yang sekadar ingin sampai. Saya termasuk yang terakhir. Tapi di dalam keterlambatan itu, saya menemukan jeda. Untuk melihat diri sendiri. Untuk belajar menerima. Untuk merasa cukup. Bahkan untuk bersyukur.
Saya tidak mengatakan bahwa delay itu menyenangkan. Tidak juga menyarankan untuk menikmatinya. Tapi jika itu harus terjadi, maka setidaknya kita bisa memilih bagaimana cara menghadapinya. Duduk, marah, dan memaki. Atau duduk, bernapas, dan tetap hidup.
Kadang dunia terlalu cepat. Kita diburu waktu. Kita dihimpit tenggat. Tapi delay memaksa kita berhenti. Memaksa kita menunggu. Dan dalam menunggu itu, ada ruang. Untuk berpikir. Untuk meresapi. Untuk merawat diri. Mungkin itu bukan waktu yang kita minta. Tapi bisa jadi itu waktu yang kita butuhkan.