Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Impian Berada di Arafah

6 Juni 2025   07:23 Diperbarui: 6 Juni 2025   07:23 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tulis pakai pulpen merah di buku catatan bekas anakku zaman SMP. Isinya ada doa untuk almarhum suamiku, yang dulu mati ditabrak motor saat beli ketoprak. Ada juga doa untuk ibu, yang kubenci bertahun-tahun karena memaksaku kawin dengan orang yang tak kucintai. Ada doa untuk anakku, semoga tambangnya tak menggerogoti nurani.

Dan... ada satu doa yang kutulis terakhir: “Ya Allah, izinkan aku mati dalam keadaan sedang mengenal-Mu.” Aku tak tahu kenapa doa itu muncul. Tapi itu yang keluar dari hatiku waktu nulisnya.

Kadang aku ragu, siapa aku ini sampai berani-beraninya punya impian besar? Di mata dunia, aku hanya Murni penjual gorengan. Bahkan mungkin tak ada yang akan peduli kalau aku hilang. Tapi Arafah memberiku rasa penting. Bukan karena aku istimewa, tapi karena aku manusia. Dan di Arafah, semua manusia setara.

Beberapa tahun lalu, aku lihat video orang-orang berdiri di Arafah. Mereka menangis. Yang tua, yang muda, yang pakai kursi roda, semua menengadah. Ada yang merintih seperti anak kecil kehilangan ibu. Ada yang berdoa dalam diam. Aku menangis juga, padahal cuma nonton dari layar ponsel butut.

Sejak itu, aku punya kebiasaan aneh. Setiap tanggal 9 Dzulhijjah, aku tutup warung. Aku pakai mukena putih, dan diam seharian di ruang tamu. Tak pegang HP. Tak bicara dengan siapa-siapa. Hanya membaca doa-doa. Bertakbir pelan. Kadang terlelap juga. Tapi kurasa tidak apa-apa. Karena dalam tidur pun, aku berharap ada bagian dari ruhku yang ikut wukuf di Arafah.

Orang-orang bilang aku lebay. Katanya, lebih baik jualan gorengan buat nambah setoran haji. Tapi aku tak peduli. Mungkin karena aku percaya, kalau tak bisa hadir secara jasad, semoga bisa hadir dengan hati. Itu pun sudah cukup untuk menumbuhkan cinta.

Sore ini, aku duduk di depan rumah sambil mengupas ubi. Di ujung gang, ada pengumuman haji dari masjid. Namanya terpampang di papan. Aku mengenali satu: Bu Yati, tetanggaku yang suka ghibah. Tapi aku tak iri. Malah senang. Aku titip doa padanya.

“Nanti kalau Ibu di Arafah,” kataku, “tolong doakan aku bisa nyusul.”

Bu Yati hanya mengangguk. Ia mungkin merasa geli. Tapi itu tidak penting.

Yang penting: aku sudah menitipkan impian. Siapa tahu Allah mendengar doanya, dan mengabulkannya untukku juga. Allah, menurutku, bukan Tuhan yang pelit.

Kalau suatu hari aku benar-benar sampai di Arafah, aku tak akan minta macam-macam. Cukup diberi kesempatan berdiri. Diam. Menatap langit. Menitipkan seluruh hidupku ke angin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun