Kata orang, Arafah itu padang gersang. Panas. Berdebu. Tak ada pepohonan rindang. Tapi entah kenapa, setiap aku mendengar namanya, yang datang justru rasa sejuk. Aneh, ya?
Aku belum pernah ke sana. Bahkan ke Arab Saudi pun belum. Tapi tiap kali mendengar cerita tentang wukuf di Arafah, aku merasa seperti ditarik ke sana. Seolah ada bagian dari jiwaku yang nyasar, atau memang sengaja kabur ke padang tandus itu. Mungkin karena lelah tinggal di kepala sendiri.
Namaku Murni. Umurku lima puluh dua. Sehari-hari jualan gorengan di depan SD Negeri yang bau gotnya kadang bikin pingsan semut. Tapi ya sudah, aku terbiasa. Yang penting dagangan laku. Aku sudah lama sendirian, anak satu-satunya kerja di Kalimantan. Katanya, di sana ada tambang.Â
Sudah bertahun-tahun aku menabung. Bukan buat beli rumah, bukan buat nikah lagi. Aku cuma pengen ke Arafah. Haji, maksudku. Orang-orang suka bilang itu mimpi yang terlalu tinggi buat tukang gorengan. Tapi kadang, justru karena terlalu tinggi, aku jadi makin pengen.
Lima tahun lalu, aku daftar tabungan haji di bank. Namaku sudah masuk sistem, katanya. Tapi kalau dihitung-hitung, aku baru bisa berangkat umur enam puluh sekian. Kalau umurku cukup panjang. Kalau uangnya nggak terpakai buat berobat. Kalau anakku nggak minta bantuan. Banyak sekali kalau-nya.
Tapi aku percaya satu ayat yang sering kutulis di kertas bekas bungkus tahu: "Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh." (QS. Al-Hajj: 27)
Aku percaya Allah memanggil, bukan menyuruh. Mungkin itu bedanya Tuhan sama bos kantoran. Tuhan memanggil dengan kelembutan. Bahkan dari jarak sejauh apa pun, manusia bisa datang. Itu yang membuatku bertahan.
Setiap malam, sebelum tidur, aku membayangkan diriku berdiri di Arafah. Angin padang gurun meniup ujung mukena yang mulai menguning. Aku tak berkata apa-apa. Hanya menatap langit. Di bawah panas yang katanya 32 derajat itu, aku membayangkan tubuhku menggigil. Mungkin bukan karena cuaca, tapi karena rasa yang tak bisa kuterangkan. Rasa yang membuat mata menitikkan air meski hati tak merasa sedih.
Pernah suatu malam, aku mimpi aneh. Aku sedang berdiri di tengah padang putih. Bukan pasir. Tapi semacam cahaya yang padat. Aneh memang. Lalu datang suara dari langit, bilang: "Kau sudah sampai."
Aku bangun dengan peluh dingin. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku langsung ambil wudhu, shalat dua rakaat, lalu diam. Berjam-jam. Seperti sedang wukuf. Padahal hanya duduk bersila di atas tikar plastik yang bagian ujungnya sobek.
Ada yang bilang, mimpi itu cuma bunga tidur. Tapi aku percaya, beberapa mimpi bukan sekadar bunga. Mereka adalah pesan. Mungkin karena itu, aku mulai menulis daftar doa yang akan kupanjatkan kalau suatu hari bisa berada di Arafah.