Orang-orang sibuk mencari rahasia kebahagiaan. Mereka membaca buku self-help, ikut seminar motivasi, bahkan bertapa di gunung dengan harapan pencerahan datang seperti promo belanja online. Padahal, rahasianya sudah ada sejak dulu: lakukan sesuatu untuk kemaslahatan orang lain.
Coba lihat air yang mengalir. Ia tidak pernah bertanya, "Siapa yang layak menerima kesegaranku?" atau "Apa untungnya buatku?" Ia mengalir saja, memberi kehidupan, lalu tetap jernih. Bandingkan dengan air yang diam di satu tempat, menunggu orang lain datang mengambilnya. Apa yang terjadi? Lama-lama ia keruh, penuh lumut, dan jadi tempat berkembang biak nyamuk demam berdarah.
Manusia yang menunggu kebaikan dari orang lain sebelum berbuat baik pun tak jauh beda. Mereka mengeluh karena dunia tak adil, lalu menyalahkan orang-orang di sekitar yang tidak cukup menghargai keberadaan mereka. Mereka berharap dunia memperlakukan mereka dengan lebih baik, padahal mereka sendiri enggan melakukan hal serupa.
Bermurah hatilah. Beri sesuatu tanpa hitung-hitungan. Kalau matahari harus memastikan dulu apakah bumi layak menerima sinarnya, mungkin kita sudah punah sejak dulu.
Bargaining dengan Kebahagiaan
Manusia suka bernegosiasi dengan kebahagiaan. Mereka berkata, "Saya akan berbagi kalau orang lain juga mau berbagi dengan saya." Ini pemikiran yang masuk akal kalau Anda sedang jual beli sapi di pasar, tapi tidak kalau bicara tentang kebaikan.
Ada orang yang berkata, "Saya sudah berbuat baik, tapi dunia masih memperlakukan saya dengan buruk." Baiklah, mari kita bicara tentang ayam goreng. Anda bisa memasak ayam dengan sempurna, bumbunya meresap, kulitnya renyah, dagingnya juicy. Tapi kalau yang makan adalah orang yang sedang sakit demam, ayam itu tetap terasa hambar. Begitu juga dengan kebaikan.
Kita tidak bisa mengharapkan orang lain membalas kebaikan dengan cara yang kita inginkan. Kadang, mereka tidak membalas sama sekali. Kadang, mereka malah mencibir. Dan kadang, orang yang kita bantu justru menikam dari belakang. Dunia memang tidak selalu beroperasi dengan sistem buy one get one free.
Tapi lihatlah matahari. Ia bersinar tanpa peduli siapa yang menikmati kehangatannya. Ia tidak protes ketika sinarnya menyinari tempat pembuangan sampah atau rumah orang yang suka membuang sampah sembarangan. Ia tidak pernah mengeluh, "Kenapa aku harus menyinari mereka? Kenapa mereka tidak membalas dengan sesuatu yang sepadan?"
Bayangkan kalau matahari berpikir seperti manusia. "Ah, aku sudah bersinar selama miliaran tahun. Tidak ada yang benar-benar berterima kasih padaku. Mereka malah sibuk membuat AC untuk melawanku. Mulai besok, aku mogok kerja." Bisa dibayangkan kekacauan yang terjadi.
Mengapa Kita Enggan Bermurah Hati?
Sebagian orang takut berbagi karena khawatir kehabisan. Ini masuk akal kalau Anda sedang berbicara tentang saldo rekening atau stok makanan di kulkas. Tapi anehnya, semakin seseorang memberi dengan tulus, semakin banyak yang ia dapatkan kembali. Ini bukan sihir, bukan pula skema ponzi.
Coba perhatikan senyum. Anda bisa tersenyum kepada orang lain tanpa takut kehabisan stok senyum di wajah Anda. Tapi ada orang-orang yang hemat senyum, seolah-olah kalau mereka tersenyum lima kali sehari, wajah mereka akan habis terpakai lebih cepat.
Begitu juga dengan kebaikan. Semakin banyak kita memberi, semakin banyak yang kita terima, meskipun mungkin bukan dari orang yang sama atau dalam bentuk yang sama.
Tapi banyak orang takut rugi. Mereka menghitung kebaikan seperti menghitung uang kembalian di kasir minimarket. Mereka berkata, "Saya sudah membantu dia kemarin, sekarang giliran dia membantu saya." Jika orang yang dibantu tak membalas, mereka pun kecewa.
Mungkin mereka lupa bahwa hidup ini bukan transaksi jual-beli. Kita bukan kasir yang harus memastikan semua saldo masuk dan keluar seimbang. Kalau Anda membantu seseorang, lakukan saja. Kalau berharap balasan, Anda sedang berbisnis, bukan berbagi.
Dunia yang Penuh Kalkulator
Banyak orang yang mengeluhkan hidup mereka tidak bahagia. Mereka merasa kosong, hampa, sepi. Mereka menyalahkan lingkungan, pekerjaan, bahkan pemerintah. Tapi kalau kita perhatikan, mereka ini sering kali adalah orang-orang yang paling malas berbagi.
Mereka menunggu dunia memberi mereka sesuatu sebelum mereka mau memberi balik. Mereka ingin dicintai sebelum mereka mencintai. Mereka ingin dihormati sebelum mereka menghormati. Mereka ingin orang lain berbuat baik pada mereka dulu, baru mereka akan membalas.
Padahal, matahari tidak pernah berkata, "Aku akan menyinari bumi kalau bumi lebih dulu menunjukkan rasa terima kasih padaku." Ia hanya bersinar, tanpa bertanya lebih dulu.
Sementara itu, manusia sibuk menghitung untung-rugi, memastikan semua kebaikan yang mereka berikan harus ada timbal baliknya.
Akhirnya, mereka menjadi seperti air yang diam, menunggu orang lain datang sebelum mereka mau bergerak. Dan seperti yang kita tahu, air yang diam terlalu lama akan berubah jadi genangan kotor yang tak layak diminum.
Tapi, terserah. Kalau masih ingin hidup seperti kalkulator, silakan. Dunia ini luas. Ada orang-orang yang terus bergerak dan memberi, seperti matahari dan air yang mengalir. Ada juga yang menunggu orang lain berbuat baik dulu, lalu mengeluh ketika dunia tidak memperlakukan mereka dengan istimewa.
Dan di antara kedua jenis manusia itu, ada yang masih sibuk menghitung-hitung apakah mereka harus berbagi atau tidak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI